MENYENTUH WANITA NON MAHRAM DALAM TINJAUAN ISLAM
KAJIAN FIQH HADITS [1]
Diterjemahkan dan disusun oleh : Abu Shafa Luqmanul Hakim
Muqaddimah
Segala
puji hanya untuk Allah semata, Rabb sekalian alam, pemilik segala
kemuliaan dan keutamaan serta menetapkannya untuk makhluq yang
dipilihnya. Shalawat dan Salam untuk sang manusia pilihan, yang diutus
dengan agama dan mukjizat abadi, yaitu Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam-,
semoga keselamatan dan kesejahteraan senantiasa tercurah untuk beliau,
para keluarga dan sahabatnya, serta seluruh umatnya yang gigih meniti
jalannya sampai hari kiamat datang menjelang.
Ikhwah
yang dirahmati Allah, sesungguhnya orang yang mengkaji alqur'an dan
sunnah akan memahami dengan gamblang tentang perhatian agama islam yang
besar terhadap hak-hak wanita,
mensyariatkan hukum-hukum untuk menjaga kemuliaannya, menurunkan
penjelasan dari alqur'an maupun sunnah untuk melanggengkan kesucian
mereka, bak sang ratu cantik nan jelita yang terjaga dari kotoran,
ibarat permata yang tidak sembarang tangan bisa menikmati dan
menyentuhnya, padahal pada jaman jahiliyah wanita hanyalah barang yang
diwariskan turun temurun, mereka ibarat sampah yang tidak dikehendaki
kehadirannya, bahkan wanita merupakan simbol aib yang harus dienyahkan
dari muka muka ini, maka tidak mengherankan apabila lisan takjub Umar
bin Khatthab –radiyallahu 'anhu- mengatakan:
وَاللَّهِ
إِنْ كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ مَا نَعُدُّ لِلنِّسَاءِ أَمْرًا ،
حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِنَّ مَا أَنْزَلَ وَقَسَمَ لَهُنَّ مَا
قَسَمَ
Artinya: Demi
Allah, sesungguhnya kami di jaman jahiliyah tidak menganggap wanita
sesuatu yang patut untuk dimuliakan, sampaikan Allah menurunkan –tentang
hak mereka- penjelasan, dan membagi –warisan- untuk mereka.[2]
Namun,
di era modern ini, keindahan hukum Islam terkait dengan hak-hak wanita
mulai terkoyak, kemuliaan yang ditawarkan Islam kepada mereka mulai
ternoda, bahkan persepsi jahiliyah tentang wanita berkibar kembali,
ironisnya pengibarnya adalah kader-kader kaum muslimin sendiri. Mungkin
penyebabnya adalah kebodohan yang menyelimuti umat ini, sehingga
mengaburkan penjelasan Ilahi terkait masalah ini, atau termakan
syubhat-syubhat murahan yang ditebarkan para musuh islam, demi
menghancurkan agama yang mulia ini.
Salah
satu masalah yang mulai samar di tengah kaum muslimin terkait interaksi
dengan wanita non mahram [asing] adalah tentang menyentuh atau berjabat
tangan dengan wanita. Hal ini termasuk salah satu as-sunnah al-mahjurah
[sunnah yang ditinggalkan] di tengah kaum muslimin, sungguh sangat
marak di tengah kaum muslimin fenomena berjabat tangan dengan wanita non
mahram, menganggap hal ini adalah lumrah, bahkan kening mereka
akan mengerut penuh keheranan bila menjumpai segelintir kaum muslimin
yang enggan menyambut uluran tangan wanita non mahram mereka, Allah
Musta'an wa ilaihit tuklan.
Berangkat
dari fenomena di atas, maka kami berhasrat untuk menjelaskan tentang
masalah ini dengan metode kajian hadits dan fiqh terkait dengan masalah
ini, demi menghidupkan kembali sunnah Nabi yang mulai redup ditinggalkan
para pengikutnya. Adapun manhaj kami dalam artikel ini, maka kami akan
berupaya untuk mentakhrij hadits-hadits yang kami nukil dalam makalah
ini, jika hadits tersebut diriwayatkan oleh al-imam al-Bukhari dan
Muslim atau salah satu dari mereka berdua, maka kami tidak akan
berpanjang lebar dalam mentakhrijnya, namun apabila hadits
tersebut diriwayatkan oleh selain mereka berdua, maka kami akan mencoba
untuk mentakhrijnya dan menyertakan komentar [hukum] para ulama terhadap
hadits-hadits tersebut. Dan karena makalah ini juga memuat kajian fiqh,
maka kami juga akan menukil perkataan dan pendapat para ulama kita
terkait makna dari hadits-hadits yang kami nukil, wallahu muwaffiq.
Ikhwah yang dirahmati Allah, demi memudahkan penyusunan dari makalah ini, maka kami akan membagi makalah ini dalam dua point, Pertama: Hukum Menyentuh Dan Berjabat Tangan Dengan Wanita Asing, Kedua: Menjawab Syubhat.
Point-point
inilah yang akan kami bahas dalam makalah yang ringkas ini, demi
menghidupkan kembali sunah Rasulullah yang telah mulai asing di tengah
umat islam, semoga Allah senantiaasa mencurahkan taufiq dan hidayah-Nya
kepada kita.
Pertama: Hukum Menyentuh dan Berjabat Tangan Dengan Wanita Asing
Mungkin
mayoritas kaum muslimin akan terhenyak keheranan jika kita mengatakan
dengan tegas bahwa hukum menyentuh dan berjabat tangan dengan wanita non
mahram adalah haram, dan mungkin fenomena ini adalah lumrah untuk jaman
ini, tentunya ketidaktahuan mereka tentang agama inilah yang menjadi
pemicu kekagetan mereka, namun demikianlah faktanya, betapa banyak dalil
yang ditegakkan oleh alqur'an dan sunnah untuk mentaqrir [menetapkan]
tentang hal ini, namun karena makalah kita adalah kajian hadits fiqh
maka kami hanya akan mendatangkan dalil dari hadits-hadits Nabi Muhammad
–shallahu 'alaihi wasallam- saja.
Dalil yang pertama:
Sabda Nabi:
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Artinya: Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.
Takhrij Hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh Syaddad bin Sa'id Abu Thalhah ar-Raasibii, dan diperselisihkan darinya dua jalur periwayatan:
Jalur pertama: yang meriwayatkan darinya [Syaddad bin Sa'id] lewat jalur Abul Ala'
Yazid bin Abdullah bin Syihhir dari Ma'qil bin Yasar.
Jalur
ini diriwayatkan dari Syaddad bin Sa'id oleh dua orang: yaitu 'Ali bin
Nashr al-Jahdhami dan an-Nadhr bin Syumail, jalur ini dikeluarkan oleh
ar-Ruuyaani dalam Musnadnya 2/219 no hadits 1283, beliau meriwayatkan
hadits ini lewat jalur 'Ali bin Nashr dari bapaknya, dari Syaddad bin
Sa'id, dari Abul 'Ala Yazid bin Abdullah bin Syihhir dari Ma'qil bin
Yasar.
At-Thabrani
[wafat tahu 360 H] meriwayatkan hadits ini dalam al-Mu'jam al-Kabir
lewat jalur 'Ali bin Nashr al-Jahdhami 20/212, No Hadits: 487, dan lewat
jalur an-Nadhr bin Syumail 20/211, No Hadits: 486.
Jalur kedua: yang
meriwayatkan darinya [Syaddad bin Sa'id] lewat jalur Sa'id al-Juriirii
dari Abul Ala' Yazid bin Abdullah bin as-Syikhir dari Ma'qil bin Yasar.
Jalur ini diriwayatkan
dari Syaddad bin Sa'id oleh Sa'id bin Sulaiman an-Nasyiithi, dan jalur
ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman 4/374, No Hadits:
5455, beliau meriwayatkan jalur ini dari al-Isfaathi dari Sa'id bin
Sulaiman an-Nasyiithi dari Syaddad bib Sa'id Abu Thalhah ar-Raasibii
dari Sa'id al-Juriirii dari Abul 'Ala Yazid bin Abdullah bin as-Syikhir
dari Ma'qil bin Yasar, dengan lafadz hadits yang sedikit berbeda.
Jika
kita menilik perbedaan jalur periwayatan ini, maka kita akan
berkesimpulan bahwa jalur periwayatan hadits yang pertama lebih kuat
dari yang terakhir, hal ini disebabkan dua hal:
1.
Perawi yang meriwayatkan dari Syaddad bin Sa'id lebih banyak, yaitu dua
orang: 'Ali bin Nashr al-Jahdhami dan an-Nadhr bin Syumail.
2. Kualitas perawinya lebih baik, kami akan bahas di kajian sanad insya Allah.
Adapun
jalur yang kedua, yang meriwayatkan dari Syaddad bin Sa'id adalah Sa'id
bin Sulaiman an-Nasyiithi, beliau adalah perawi yang lemah, Abu Hatim
ar-Razi [wafat tahun 277 H] berkata: kami tidak meridhai Sa'id bin
Sulaiman an-Nasyiithi, padanya ada catatan miring [fiihi nadhor], Abu
Zur'ah ar-Razi [wafat tahun 264 H] ketika ditanya tentangnya, beliau
mengatakan: bukan perawi yang kuat, Abu Dawud berkata: saya tidak
mengambil hadits darinya, ad-Dzahabi [wafat tahun 748 H] mengatakan
tentangnya: padanya ada kelembekan [lemah], dan Ibnu Hajar [wafat tahun
852 H] mengatakan: lemah. Lihat terjemah [biografi] Sa'id bin Sulaiman
an-Nasyiithi dalam Tahdzibul Kamal 10/488, al-Mughnii [1/405], Taqribut
Tahdzib 238.
Kajian Sanad:
1. Nashr
bin 'Ali bin Shuhbani bin Ubay al-Azdii al-Jahdhami, wafat tahun 250
atau 251 H. Ibnu Hajar mengatakan: terpercaya dan bisa menjadi hujjah.[3]
2. Ali
bin Nashr bin 'Ali bin Shuhbani bin Ubay al-Azdii al-Jahdhami, Abul
Hasan al-Bashri, bapak dari Nashr bin Ali, wafat tahun 187 H. ditsiqohkan oleh Yahya bin Ma'in [wafat tahu 234 H] dan Abu Hatim ar-Razi bahkan beliau menambahkan: perawi yang jujur [shaduuq], Ibnu Hajar mengatakan: tsiqotun [terpercaya].[4]
3. Syaddad
bin Sa'id, Abu Thalhah ar-Raasibii al-Bashrii, dianggap terpercaya
[watstsaqohu] Yahya bin Ma'in dan Imam Ahmad [wafat tahun 241 H] bahkan
beliau menambahkan: dia [Syaddad bin Sa'id] adalah Syaikh, disebutkan
oleh Ibnu Hibban [wafat tahun 354 H] dalam kitabya at-Tsiqoot dan beliau
mengatakan: terkadang dia salah [dalam meriwayatkan hadits], imam
Bukhari [wafat tahun 256 H]: dilemahkan oleh 'Abdus Shamad bin Abdul
Warits, Ibnu 'Adi [wafat tahun 361 H] mengatakan: dia tidak meriwayatkan
banyak hadits, dan saya belum menemukan hadistnya yang mungkar[5]
dan saya mengharap bahwa tidak apa [la ba'sa bihi], al'Uqaili
mengatakan: Namun dia jujur [shaduuq], pada hafalannya ada kelemahan,
Ibnu Hajar mengatakan: jujur namun terkadang salah [dalam meriwayatkan
hadits].[6]
4. Yazid
bin Abdillah bin as-Syikhkhiir al-'Amrii, Abul Ala' al-Bashrii,
dianggap terpercaya [wattsaqahu] oleh Laits bin Sa'ad [wafat tahun 230
H], al-Ijlii, an-Nasa'i [wafat tahun 303 H], dan disebutkan oleh Ibnu
Hibban dalam kitabnya at-Tsiqoot, Ibnu Hajar mengatakan: Tsiqotun
[terpercaya].[7]
Menghukum Sanad Hadits:
Sanad
hadits ini Hasan, di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Syaddad bin
Sa'id, Abu Thalhah ar-Raasibii al-Bashrii, dia adalah perawi yang jujur
dan terkadang melakukan kesalahan, dan para perawi selain beliau
seluruhnya terpercaya.
Hukum Para Ulama Terhadap Hadits Ini
1.
Al-Haitsami mengatakan dalam kitabnya Majma'ul Fawaid 4/426: hadits ini
diriwayatkan oleh Thabrani, dan para perawinya [memenuhi syarat] perawi
Bukhari dan Muslim.
2.
Al-Mundziri mengatakan dalam kitabnya at-Targhibu wat Tarhiib 3/10:
hadits ini diriwayatkan at-Tabrani dan al-Baihaqi, dan para perawi
at-Thabrani terpercaya, perawi yang memenuhi syarat Bukhari dan Muslim.
3.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan dalam kitabnya
Silsilah as-Shohiihah 1/447 No Hadits: 226: ini sanad yang baik
[jayyid], seluruh perawinya terpercaya dan memenuhi syarat perawi
Bukhari dan Muslim, kecuali Syaddad bin Sa'id, dia adalah perawi yang
memenuhi syarat imam Muslim saja, ada sedikit kritikan padanya [Syaddad
bin Sa'id], namun derajat hadits ini tidak kurang dari derajat hasan
Dan
hadits diatas memiliki beberapa Syawahid [penguat], diantaranya
diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dalam Sunannya 2/117 No Hadits 2168,
dan diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitabnya at-Thibb 2/33-34
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Albani –rahimallahu lijami'i ulama'inaa-.
Fiqh Hadits
- Hadits ini mengharamkan seorang laki-laki menyentuh wanita non mahram
- Yang dimaksud dengan menyentuh di dalam hadits ini adalah menyentuh hakiki, dan bukan bermakna jimak [hubungan intim].
- Menyentuh wanita yanag bukan mahram termasuk dosa besar, hal ini bisa disimpulkan dari ancaman keras yang dikandung hadits di atas.
- al-Munawi –rahimahullah- mengatakan: dikhususkan pasak dari besi, karena lebih kuat dari yang lainnya, dan lebih keras dalam menusuk, serta lebih parah sakitnya.[8]
Dalil Kedua:
Diantara kebiasaan Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-
adalah tidak menjabat tangan wanita ketika membai'at mereka, padahal
sebenarnya momentum bai'at sangat layak untuk menjabat tangan orang yang
membai'at demi mengukuhkan bai'at tersebut, namun Rasulullah
meninggalkannya –jabat tangan dengan wanita-, hal ini menunjukan
keharaman perbuatan tersebut.
Rasulullah bersabda:
إِنِّي
لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي
لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ مِثْلُ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
Artinya:
sesungguhnya saya tidak menjabat tangan wanita, sesungguhnya
perkataanku untuk seratus wanita sama dengan perkataanku untuk satu
orang atau serupa dengan perkataanku untuk satu orang wanita.
Takhrij Hadits:
v Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Malik [wafat tahun 179 H] dalam kitabnya
Muwattha' 1/346 No Hadits 897, dan dari jalur periwayatan yang sama
diriwayatkan oleh an-Nasa'i dalam Sunan Kubra-nya 10/298 No Hadits:
11525, Imam Ahmad dalam Musnadnya halaman 1997 No Hadits: 27548, Ibnu
Sa'ad dalam at-Thabaqaat al-Kubra 8/3, Ibnu Hibban dalam Shohihnya 7/8
No Hadits: 4536, at-Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir 24/186 No Hadits 471,
ad-Daaruquthnii [wafat tahun 385 H] dalam Sunan-nya 4/147, dan
al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 8/255 dari Muhammad bin Munkadir dari
Umaimah binti Raqiiqah –radhiyallhu 'anha-.
v Imam
at-Tirmidzi [wafat tahun 279 H] meriwayatkan hadits ini dalam Sunan-nya
di kitabus Siyar Bab penjelasan tentang pembai'atan wanita, No Hadits:
1597 dari jalan Qutaibah bin Sa'id dari Muhammad bin Munkadir dari Umaimah binti Raqiiqah –radhiyallhu 'anha-, lalu beliau mengatakan: hadits Hasan Shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur Muhammad bin Munkadir.
v Dikeluarkan
pula oleh Ibnu Majah [wafat tahun 273 H] dalam Sunan-nya, kitabul Jihad
Bab tentang pembai'atan wanita No Hadits: 2874 dari jalan Abu Bakar bin
Abi Syaibah Muhammad bin Munkadir dari Umaimah binti Raqiiqah –radhiyallhu 'anha-.[9]
v Jika
kita telisik jalur periwayatan hadits ini, maka kita akan dapatkan
bahwa madaarul isnad [poros sanad] ada pada tabi'in yang mulia Muhammad
bin Munkadir –rahimahullah-.
Kajian Sanad:
1. Muhammad bin Munkadir bin Abdullah bin al-Hudair al-Qurasyi at-Taimi, Abu Abdullah atau Abu Bakar Al-Madani.
Dianggap tsiqoh [wattsaqohu] oleh Yahya bin Ma'in, al'Ijlii, dan Abu Hatim.
Sufyan
bin 'Uyainah mengatakan: dia adalah salah satu sumber kejujuran, dan
berkumpul kepadanya orang-orang sholih, dan tidak ada seorangpun yang
layak untuk lebih diterima –dari Muhammad bin Munkadir- apabila dia
mengatakan: Rasulullah bersabda.
Al-Humaidi
mengatakan: penghafal [hafidh], Ya'qub bin Syaibah mengatakan:
haditsnya Shohih sekali, dan Ibnu Hajar mengatakan: terpercaya dan orang
yang mulia [tsiqotun fadhil].[10]
Menghukum Sanad Hadits:
Sanad hadits ini shahih
Hukum Para Ulama Terhadap Hadits Ini
Imam Tirmidzi mengatakan: hadits ini hasan Shahih
Fiqh Hadits:
v Larangan berjabat tangan laki-laki dengan wanita asing [non maharam].
Berkata Ibnu 'Abdilbarr [wafat tahun 463 H] –rahimahullah-:
Dalam sabda Rasulullah "sesungguhnya saya tidak menjabat tangan
wanita", merupakan dalil yang melarang laki-laki untuk berdekatan
[al-Mubasyarah] dengan wanita yang tidak halal baginya, dan larangan
untuk menyentuhnya dengan tangannya, serta larangan untuk berjabat
tangan.[11]
Berkata al-Hafidz al-'Iraqiy [wafat tahun 826 H] –rahimahullah-:
jika saja beliau tidak melakukannya [jabat tangan], padahal beliau
seorang yang ma'shum [terjaga dari dosa] dan terangkatnya kecurigaan
[untuk melakukan dosa] atasnya, maka manusia selain beliau lebih layak
untuk tidak melakukan [jabat tangan].[12]
Dalil Ketiga:
Bahkan Aisyah –radhiyallahu anha- bersumpah bahwa Nabi tidak pernah menyentuh tangan seorangpun ketika proses bai'at, beliau berkata:
ولا والله !! ما مست يد امرأة قط في المبايعة, ما يبايعهنّ إلاّ بقوله قد بايعتك علي ذلك
Artinya:
Demi Allah, [tangan Rasulullah] tidak menyentuh tangan seorang
wanitapun ketika proses bai'at, beliau tidak membai'at para wanita
kecuali dengan berkata: saya telah membai'at kamu atas hal itu [yang
diucapkan ketika proses bai'at].
Takhrijul Hadits:
v Hadits
ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam kitab Tafsir Bab: jika
datang kepada kalian wanita mukmin yang berhijrah No Hadits: 4891, dan
di Kitab at-Thalaq Bab: jika telah masuk ke dalam islam wanita muyrik
atau nasrani yang menjadi istri kafir dzimmi atau harbiy No
Hadits 5288, dan dalam Kitab Ahkam Bab Bai'at para wanita No Hadits:
7214 diriwayatkan dengan ringkas, dan dalam redaksi hadits tersebut ada
lafadz: "dan tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan seorang
wanitapun, kecuali wanita yang dimilikinya [para istri dan hamba
sahaya,pent.]".
v Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam Kitab al-Imarah Bab: cara membai'at wanita No Hadits: 1866
v Al-Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits di atas dalam Kitab Tafsir Bab: dan dari surat al-Mumtahanah No Hadits: 3306
v Sedangkan al-Imam Ibnu Majah meriwayatkan hadits di atas dalam Kitab al-Jihad Bab tentang bai'at wanita No Hadits: 2875
v Dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dalam Musnad-nya halaman 1944 No Hadits: 26857.
Menghukum Hadits:
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim –rahimahumallahu-.
Fiqh Hadits:
v Penegasan
pengharaman jabat tangan laki-laki dengan wanita asing [non mahram],
hal ini disimpulkan dari sumpah yang lafadzkan Aisyah –radhiyallahu 'anha-.
Inilah
pemaparan ringkas tentang haramnya menyentuh dan menjabat tangan wanita
non mahram dalam dalam tinjauan islam, beserta beberapa dalil dari
hadits-hadits Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam- yang dihiasi perkataan-perkataan para ulama kita, kesimpulan yang bisa kita petik dari pembahasan diatas adalah Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- tidak pernah menyentuh dan menjabat tangan seorang wanitapun, dan hal ini juga ditegaskan oleh Aisyah –radhiyallahu 'anha- dengan sumpah beliau.
Kedua: Menjawab Syubhat
Merupakan yang aksiomatik
bagi para penuntut ilmu, bahwa semakin jauh generasi umat dari cahaya
kenabian maka akan semakin tersebar kebodohan, meluasnya keburukan serta
akan merajalela syubhat-syubhat. Salah satu syubhat yang muncul di
permukaan dan gencar di didoktrinkan kepada umat adalah syubhat tentang
mua'amalah [interaksi] antara laki-laki dan wanita dalam pergaulan
sehari-sehari, di poin ini kami akan memaparkan beberapa syubhat-syubhat
terkait hukum menyentuh dan menjabat tangan wanita.
Syubhat Pertama:
Anas bin Malik –radiyallahu 'anhu- mengatakan:
إن كانت الأمة من أهل المدينة لتأخذ بيد رسول الله فما ينزع يده من يدها حتى تذهب به حيث شاءت من المدينة في حاجتها
Artinya:
Sesungguhnya jika seorang wanita dari penduduk madinah menggapai tangan
Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-, maka beliau tidak menarik
tangannya dari tangan wanita tersebut hingga beliau pergi ke berbagai
tempat di Madinah sekehendak hatinya [wanita] untuk memenuhi hajatnya.
Takhrij Hadits:
v Hadits
ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Kitab az-Zuhd Bab berlepas diri
dari sifat sombong dan menghiasi diri dengan sifat tawadhu' No Hadits:
4177, diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya hal. 119 No Hadits: 13289
dan diriwayatkan pula oleh beliau dalam kitab az-Zuhd 1/17 namun tidak
ada lafadz:
فما ينزع يده من يدها
Artinya: dan beliau tidak menarik tangannya dari tangan wanita tersebut
Diriwayatkan
pula oleh Abu Ya'la dalam Musnadnya hal. 747 No Hadits: 3982, dan Abu
Nu'aim dalam Hilyatul Auliya' 7/201 sama dengan lafadz imam Ahmad dalam
kitab az-Zuhd, seluruhnya meriwayatkan hadits ini dari jalan Syu'bah bin Hajjaj dari Ali bin Zaid bin Jud'an dari Anas bin Malik.
v Substansi
hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab
Fadhail Bab: Dekatnya Nabi dengan manusia dan tabarruknya mereka dengan
beliau dan sifat tawadhu' beliau kepada mereka No Hadits: 2326, dengan
redaksi:
أنّ
امرأة في عقلها شيئ, فقالت: يا رسول الله إنّ لي عليك حاجة, فقال: يا أمّ
فلان!! أنظري أيّ السكك شئت حتى أقضي لك حاجتك, فخلا معها في بعض الطرق حتى
فرغت من حاجتها
Artinya:
Bahwa seorang wanita yang akalnya kurang sempurna berkata kepada
Rasulullah: Wahai Rasulullah!! sesungguhnya saya membutuhkanmu, maka
Rasulullah menjawab: Wahai Ummi Fulan! Carilah tempat yang kamu suka
sehingga saya bisa menutupi kebutuhanmu, maka beliau pergi bersama
wanita tersebut di salah satu jalan –di Madinah- sampai beliau
menyelesaikam kebutuhan wanita tersebut.
Dan
juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya Kitab: Adab Bab:
tentang duduk di jalan, No Hadits: 4819, semuanya dari jalan Yazid bin Harun dari Hammad Bin Salamah dari Tsabit al-Bunnani dari Anas bin Malik.
v Dan diriwayatkan pula oleh Abu Dawud No Hadits: 4818 dari jalur Muhammad bin Isa bin Thabba' dan Katsir bin Ubaid, sedang Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Musnad Hal. 839 No Hadits: 12221.
Mereka bertiga [Muhammad bin Isa bin Thabba', Katsir bin Ubaid dan Imam Ahmad] meriwayatkan dari Marwan bin Mu'awiyah dengan redaksi yang serupa dengan redaksi Imam Muslim.
v Dan
Imam Ahmad meriwayatkan -lagi- dalam kitabnya al-Musnad hal. 822 No
Hadits: 11963, dan dengan jalur sanad yang sama diriwayatkan oleh Imam
al-Baihaqi dalam kitab Syu'abul Iman 6/269 No Hadits: 8113, dari jalan Husyaim dengan lafadz:
إن كانت الأمة من أهل المدينة لتأخذ بيد رسول الله فتنطلق به في حاجتها
Artinya:
Sesungguhnya jika seorang wanita dari penduduk Madinah menggapai tangan
Rasulullah [memanggil untuk minta bantuan], maka Rasulullahpun pergi
bersamanya untuk memenuhi kebutuhannya [menolong wanita tersebut].
kemudian Imam Ahmad meriwayatkan –lagi- dalam Musnadnya, Hal. 911 No Hadits: 13274, dari Abdullah bin Bakr as-Sahmiy dengan lafadz Imam Muslim.
Dan mereka bertiga [Marwan bin Mu'awiyah, Husyaim, Abdullah bin Bakr as-Sahmiy] meriwayatkan dari Humaid at-Thawiil.
v Imam Bukhari menyebutkan hadits ini secara Mu'allaq dalam Shahihnya, Kitab: Adab, Bab: tentang sifat sombong, No Hadits: 6072, beliau mengatakan: Muhammad bin Isa berkata: telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Humaid at-Thawiil dari Anas Bin Malik, beliau berkata:
كانت الأمة من إماء اهل المدينة لتأخذ بيد رسول الله صلى الله عليه وسلمّ فتنطلق به حيث شاءت
Artinya:
Sesungguhnya seorang wanita dari penduduk Madinah menggapai tangan
Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-, dan kemudian dia pergi
bersama beliau [Rasulullah] kemana yang dia kehendaki.
v Jika kita telaah dengan seksama jalan-jalan periwayatan hadits di atas, maka kita niscaya akan kita dapatkan beberapa hal:
1. Hadits ini diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Anas Bin malik.
2. Hadits ini diriwayatkan dari Anas bin Malik oleh tiga orang perawi yaitu Ali bin Zaid bin Jud'an, Tsabit al-Bunani, Humaid at-Thawiil.
3. Jika kita menelisik lafadz hadits, maka kita dapatkan bahwa Ali bin Zaid bin Jud'an datang dengan tambahan yang tidak diriwayatkan oleh perawi yang lain dari Anas bin Malik, yaitu tambahan lafadz:
فما ينزع يده من يدها
Artinya: dan beliau tidak menarik tangannya dari tangan wanita tersebut
Dan
lafadz hadits di atas, menjelaskan dengan gamblang bahwa Rasulullah
berpegangan tangan dengan wanita tersebut, sangat berbeda dengan lafadz
hadits yang dibawa oleh Tsabit al-Bunani dan Humaid at-Thawiil.
Kajian Sanad:
Yang
akan kami kaji adalah sanad hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dan yang lainnya, dari jalan Ali Bin Zaid bin Jud'an, sebab jalan yang
lain [Tsabit al-Bunnani dan Humaid at-Thawiil] diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim.
1.
Syu'bah bin Hajjaj bin Ward al-'Atakiy al-Azdiy maulaahum, Abu Bisthom
al-Waasithiy tsumma al-Bashriy. Abdullah bin Ahmad mengatakan: Bapakku
[imam Ahmad] mengatakan: Syu'bah adalah satu-satunya umat dalam masalah
ini [yaitu dalam masalah pengetahuannya terhadap hadits].
Hammad
bin Zaid mengatakan: saya tidak peduli tentang siapa yang menyelisihiku
[dalam masalah hadits] jika Syu'bah bin Hajjaj sepakat denganku, karena
Syu'bah tidak rela kalau hanya mendengarkan hadits satu kali, dan jika
Syu'bah menyelisihiku [dalam periwayatan hadits] maka saya tinggalkan
hadits tersebut.
Sufyan at-Tsauriy berkata: Syu'bah adalah seorang Amirul Mukminin[13] dalam bidang hadits.
Ibnu
Hajar mengatakan: terpercaya, penghafal dan mutqin [profesional]…., dia
adalah orang pertama yang mengkaji tentang rijal [perawi hadits] di
Iraq dan yang pertama kali –pula- dalam membela sunnah.[14]
2.
Ali bin Zaid bin Jud'aan, dia adalah Ali bin Zaid bin Abdillah bin Abi
Mulaikah, dan nama Abu Mulaikah adalah Zuhair bin Abdillah bin Jud'aan
al-Qurasyiy at-Taimiy, Abul Hasan al-Bashriy.
Imam
Tirmidzi Mengatakan: seorang yang jujur [shaduq], namun terkadang dia
mengangkat hadits kepada Rasulullah yang dimauqufkan [sanadnya berhenti
hanya sampai sahabat saja] oleh perawi yang lain.
Namun sebagian besar para ulama melemahkan beliau, diantaranya: Sufyan bin Uyainah, Imam Ahmad, Yahya bin Ma'in, dan an-Nasa-iy.
Yahya bin Ma'in mengatakan: Tidak sekuat itu.
Imam Ahmad mengatakan: Laisa Bi Syai'.
Abu Zur'ah mengatakan: dia Tidak kuat [lemah]
Hammad bin Zaid mengatakan: Dia membalikan hadits
Ibnu Hajar mengatakan: Dia lemah.[15]
Menghukum Sanad Hadits:
Sanad hadits ini lemah, di dalamnya ada perawi lemah, yaitu Ali bin Zaid bin Jud'an.
Riwayat yang shahih dalam hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, dengan redaksi:
أنّ
امرأة في عقلها شيئ, فقالت: يا رسول الله إنّ لي عليك حاجة, فقال: يا أمّ
فلان!! أنظري أيّ السكك شئت حتى أقضي لك حاجتك, فخلا معها في بعض الطرق حتى
فرغت من حاجتها
Artinya:
Bahwa seorang wanita yang akalnya kurang sempurna berkata kepada
Rasulullah: Wahai Rasulullah!! sesungguhnya saya membutuhkanmu, maka
Rasulullah menjawab: Wahai Ummi Fulan! Carilah tempat yang kamu suka
sehingga saya bisa menutupi kebutuhanmu, maka beliau pergi bersama
wanita tersebut di salah satu jalan –di Madinah- sampai beliau
menyelesaikam kebutuhan wanita tersebut.
Dan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara Mu'allaq dalam Shahihnya, dengan lafadz hadits:
كانت الأمة من إماء اهل المدينة لتأخذ بيد رسول الله صلى الله عليه وسلمّ فتنطلق به حيث شاءت
Artinya:
Sesungguhnya seorang wanita dari penduduk Madinah menggapai tangan
Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam-, dan kemudian dia pergi
bersama beliau [Rasulullah] kemana yang dia kehendaki.
Dan
seperti yang kita telaah bersama, dalam kedua riwayat tersebut tidak
ada lafadz tambahan yang diriwayatkan oleh Ali Bin Zaid bin Jud'an,
yaitu lafadz:
فما ينزع يده من يدها
Artinya: dan beliau tidak menarik tangannya dari tangan wanita tersebut
Fiqh Hadits:
v Hadits
di atas menunjukan sifat tawadhu Nabi Muhammad kepada Umatnya, dan
jauhnya beliau dari sifat sombong, congkak dan meremehkan orang lain.
v Hadits
di atas merupakan bukti nyata sifat saying dan kelembutan Nabi kepada
para umatnya, sekaligus menunjukan keadilan beliau kepada mereka.
v Hadits di atas bukan hujjah bagi orang yang membolehkan menyentuh dan menjabat tangan wanita non mahram.
v Makna
yang benar dari hadits di atas, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Hajar al-'Asqalaniy, beliau mengatakan:" yang dimaksud dengan menggapai
tangan adalah [Rasulullah] melaziminya yaitu bersikap lembut dan tunduk.[16]
Yang
dimaksud oleh Ibnu Hajar dengan penjelasan di atas, bahwa makna
haditsnya bukan menggapai [memegang] hakiki, namun maksudnya adalah
bahwa Nabi memenuhi panggilan dan kebutuhan wanita tersebut dengan penuh
ketawadhuan dan kelembutan. Penjelasan kami di atas berpijak di atas
dua faktor:
A. Untuk mengkompromikan dengan dalil-dalil lain, yang secara dhahir berkontradiksi.
B. Kami
tidak menemukan dari kalangan ulama yang menyimpulkan –dengan hadits di
atas- tentang bolehnya menyentuh dan berjabat tangan dengan wanita non
mahram.
Imam
Bukhari memasukan hadits ini dalam Kitab: Adab, Bab: tentang sifat
sombong. Imam Muslim memasukan hadits ini dalam Kitab: Fadha-il, Bab:
Dekatnya Nabi dengan manusia dan tabarruknya mereka dengan beliau serta
sifat tawadhu' beliau kepada mereka. Abu Dawud menyimpulkan dari hadits
ini dengan sebuah bab dalam sunannya, yaitu Bab: Duduk di jalanan. Dan
Imam Ahmad meriwayatkan hadits di atas dalam kitab beliau, az-Zuhd. Jika
memang hadits di atas memiliki makna bolehnya menyentuh dan menjabat
wanita non mahram, maka niscaya mereka akan menjelaskannya, atau minimal
mereka akan memberikan isyarat.
v Adapun kesimpulan bahwa Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam- menyentuh tangan wanita tersebut, yang terkandung dalam lafadz hadits:
فما ينزع يده من يدها
Artinya: Dan beliau tidak menarik tangannya dari tangan wanita tersebut.
Maka kami katakan, bahwa hadits yang datang dengan lafadz di atas adalah lemah dikarenakan dua hal:
Pertama:
Kelemahan perawinya, hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan Ali bin
Zaid bin Jud'aan dari Anas bin Malik, dan Ali bin Zaid bin Jud'an
dilemahkan oleh para ulama kita.
Kedua: Dia
bersendirian dalam riwayat di atas, sedangkan perawi selainnya yaitu
Tsabit al-Bunnani dan Humaid at-Thawiil meriwayatkan hadits ini dari
Anas bin Malik tanpa lafadz yang disebutkan oleh Ali bin Zaid Jud'an,
apalagi kedua perawi tersebut lebih terpercaya dan lebih kuat hafalannya
daripada Ali bin Zaid bin Jud'an, wallalhu a'lam.
Syubhat Kedua:
Anas bin Malik –Radhiyallah anhu- berkata:
أنّ أمّ سليم -رضي الله عنها- كانت تبسط نِطعا فيقيل عندها على ذلك النِطع, فإذا نام النّبي -صلى الله عليه وسلمّ- أخذت من عرقه و شعره فجمعته في قرورة, ثمّ جمعته في سكّ.
Artinya: Bahwa Ummu Sulaim –Radhiyallahu 'anha- menghamparkan tikar dari kulit untuk Nabi –shallallahu 'alaihi wa sallam-,
maka beliau tidur di atasnya, dan ketika Nabi tidur, beliau [Ummu
Sulaim] mengambil keringatnya dan rambutnya kemudian memasukannya ke
dalam botol, dan kemudian beliau memasukannya ke dalam tempat dari
kulit.
Takhrijul Hadits:
v Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, Kitab:
al-Isti'dzan, Bab: Seseorang yang menziarahi suatu kaum dan tidur di
tempat mereka, No Hadits: 6281, diriwayatkan pula Imam Muslim dalam
Shahihnya, Kitab: al-Fadha-il, Bab: Baiknya keringat Nabi dan bolehnya
bertabarruk dengannya, No Hadits: 2332.
v Dan
diriwayatkan pula oleh an-Nasa-i dalam Sunannya, Kitab: az-Ziinah, Bab:
pembahasan tentang tikar dari kulit, No Hadits: 5373, dan diriwayatkan
pula oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, hal. 853, No Hadits: 12423 dan
hal. 963, No Hadits: 14105.
Menghukum Sanad Hadits:
Hadits di atas shahih, diriwayatkan oleh as-Syaikhain [Bukhari dan Muslim].
Fiqh Hadits:
A. Disyariatkan untuk menghormati, mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam-.
B. Menunjukkan
bolehnya bertabarruk dengan jasad Nabi dan dengan sesuatu yang suci
yang keluar dari beliau, seperti keringat, rambut, ludah, bekas air
wudhu dan lain-lain. Hal ini merupakan kekhususan Nabi dan tidak boleh
diqiyaskan dengan orang lain.
C. Hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang pernah menyusui kita merupakan mahram.
D. Hadits ini tidak menunjukkan bolehnya menyentuh wanita non mahram, karena Ummu Sulaim adalah Mahram bagi Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihu wasallam-, beliau adalah ibu persusuan Nabi.
Ibnu
Abdil Barr berkata: Dan saya kira Ummu Haram menyusui Rasulullah, atau
Ummu Sulaim yang menyusui beliau [Rasulullah], maka Ummu Haram kemudian
menjadi bibi beliau disebabkan persusuan.[17]
Imam an-Nawawi berkata: [Ummu
Sulaim dan Ummu Haram] keduanya adalah bibi Rasulullah dan mahram
baginya, baik –penyebab menjadi mahram- karena rodho'ah [persusuan]
ataupun karena nasab [garis keturunan].[18]
Ikhwah
yang dirahmati Allah, dengan berakhirnya sanggahan terhadap
syubhat-syubhat di atas, maka berakhir pula pembahasan kami tentang tema
ini, semoga goretan singkat ini bermanfaat bagi kita semua, wallahu
waliyyut taufiq.
[1] .
Sumber dari artikel ini adalah tesis master di Universitas Imam
Muhammad bin Su'ud karya Nabilah binti Zaid bin Sa'ad al-Haliibah dengan
judul tesis at-Ta'aamul al-Masyruu' lil Mar'ah Ma'ar Rajul al-Ajnabii,
saham kami dalam artikel ini adalah menerjemahkan, penyusunan dan
sedikit pengubahan serta tambahan yang sesuai dengan kebutuhan.
[2] .
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Tafsir, bab : mencari
keridhoan istri-istrimu, no hadits: 4629, dan diriwayatkan oleh Muslim,
kitab : at-Thalaq, bab al-iila' dan menjauhi istri dan memberi pilihan
kepada mereka, no hadits: 1479.
[3]. Silahkan lihat biografi beliau di kitab al-jarh wat ta'dil 8/537, Tahdzibul Kamal 29/355, Taqribut Tahdzib 561.
[5] . Riwayat seorang perawi lemah yang menyelisihi perawi tsiqah [terpercaya].
[6] . Silahkan lihat biografinya di kitab: at-Tarikh al-Kabir 4/227, al-Jarh wat Ta'dil 304/4, ad-Du'afa' karya al'Uqailii 2/185, at-Tsiqoot 8/310, al-Kamil 5/69, dan at-Taqriib 264.
[7] . Silahkan lihat biografinya di kitab Tahdzibul Kamal 32/175, Tahdzibut Tahdzib 4/419, at-Taqriib 602
[8] . Faidul Qadir 5/258
[9] .
Kami tidak terjemahkan seluruh takhrij dari hadits ini, karena amat
panjang, sedangkan kita sudah bisa menghukum hadits tersebut dengan
mengetahui madaarus sanad dari hadits tersebut, sekedar informasi,
hampir seluruh perawi yang
meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Munkadir adalah Imam dalam
masalah hadits, contohnya adalah Qutaibah bin Sa'id, Sufyan bin
'Uyainah, Sufyan at-Tsauri, Imam Malik, Warqa' bin Umar al-Yasykuri.
[10]. Silahkan lihat Biodatanya di kitab Tahdzibul Kamal 26/503, Tahdzibut Tahdzib 3/709, at-Taqriib 508.
[11] . at-Tamhid 5/44
[12] . Tharhu Tatsrib 7/44
[13] . Level tertinggi bagi ulama hadits
[14] . Silahkan lihat biografi beliau di kitab Tahdzibul Kamal 12/479, Tahdzibut Tahdzib 2/166 dan Taqribut Tahdzib hal. 266
[15] .
Silahkan lihat biografi beliau dalam kitab Jami' at-Tirmidzi hal. 1922
No Hadits: 2678, ad-Dhu-afa' karya al-'Uqailiy 3/229, Tahdzibul Kamal
20/434 dan at-Taqriib hal. 696
[16] . Fathul Bari 10/506
[17] . Lihat at-Tamhid 1/174
[18] . Lihat Syarh an-Nawawi 'ala Shahih Muslim 16/11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar