Selasa, 03 Juli 2012

Kisah unik di Zaman Umar bin Khattab : Bayi Lahir di dalam Kubur

dikutip dari khutbah syeikh Sholih Al-Maghomisy (Imam besar masjid Quba) beliau bercerita, 

Dikisahkan bahwa pada zaman khalifah Umar bin Khottob Radiyallahu ‘anhu, seseorang datang bersama anaknya kepada Amirul Mu’minin. Pasangan ayah dan anak ini mempunyai wajah yang sangat mirip sekali sehingga membuat Amirul Mu’minin terkaget-kaget sambil berkata,
“Demi Allah, aku tidak pernah melihat keajaiban ini sebelumnya. Dan tidaklah kemiripan anda wahai sang ayah dengan anakmu kecuali seperti kemiripan seeokor burung gagak dengan kawannya.”

(Masyhur Dikalangan bangsa arab bahwa burung gagak mempunyai kemiripan yang sangat dekat sekali dengan kawannya sesame burung gagak. Sehingga mereka menjadikan burung gagak sebagai pribahasa yang mereka pakai untuk 2 orang yang kemiripan wajah).

Kemudian sang ayah berkata kepada Umar,
“Wahai Amirul Mu’minin, bagaimanakah pandapatmu jika kau tahu bahwa anak ini dilahirkan oleh ibunya dan ibunya dalam keadaan wafat ?”
Mendengar perkataan sang ayah, umar langsung berdiri dari tempat duduknya, merubah posisinya sehingga memusatkan perhatiannya kepada sang ayah tersebut. Dan Umar adalah termasuk orang yang senang sekali mendengar cerita-cerita aneh.
“Ceritakanlah kepadaku” kata Umar dengan semangat.
Dengan segera ia pun menceritakannya kepada Umar bin Khattab,
“Wahai Amirul Mu’minin, pada suatu waktu ketika istriku ibu dari anak ini mengandungnya, aku besiap-siap untuk melakukan suatu perjalanan tapi ia melarangku. Ketika aku sampai depan pintu rumah, ia terus memaksaku untuk tidak pergi sambil berkata ‘wahai suamiku, bagaimana kau meninggalkan ku disini sedangkan aku dalam keadaan hamil ?’ Kemudian aku letakkan tanganku diatas perutnya sambil berdo’a :
“Ya allah, aku titipkan anak ku yang dalam kandungan ibunya ini kepada Mu”
Kemudian aku keluar meninggalkan istriku, dan aku habiskan berhari-hari berminggu-minggu sampai berbulan-bulan dalam perjalanan sampai akhirnya aku kembali pulang.
Sesampainya dirumah, telah berkumpul di depan pintu beberapa sepupuku kemudian mereka mengelilingiku dan memberitahuku bahwa istriku telah meninggal dunia, dengan sedih aku berkata,
“Innalillahi wa innailaihi raji’un”
Kemudian mereka membawaku kedalam rumah dan memberikanku makan, makanan yang sebelumnya telah mereka siapkan untukku.

Ketika aku sedang memakan makanan tersebut aku melihat adanya asap yang keluar dari area pemakaman, kemudian aku bertanya, mereka pun menjawab, ‘ ini adalah asap yang keluar dari kuburan istrimu setiap hari sejak istrimu dikuburkan sampai saat ini terus keluar tak terhenti ’
Mendengar jawaban tersebut, aku pun langsung berkata “demi Allah, istriku adalah seorang wanita yang rajin puasanya, selalu mengerjakan sholatnya, selalu menjaga dirinya dari maksiat, tak pernah tenang terhadap kemungkaran, dan selalu menyeru kepada kebaikan, dan Allah tidak akan menghinakannya”
 Dengan segera aku menuju kuburan istriku tersebut, sesampainya aku di kuburan tersebut, aku langsung menggalinya sampai akhirnya aku melihat jasad istriku sedang duduk dalam keadaan wafat dan anaknya yang sekarang bersamanya, ia duduk diantara kedua kaki ibunya dalam keadaan hidup. Kemudian terdengar suara dari arah yang tidak diketahui,

“WAHAI ENGKAU YANG MENITIPKAN BARANG TITIPANMU, AMBILLAH BARANG TITIPAN MU KEMBALI.”

Masya Allah……. Allah benar-benar mengembalikkan padanya anaknya yang ia titipkan kepadaNya sebelum ia melakukan perjalan.
Para ulama yang meriwayatkan cerita ini berkata bahwa seandainya ayah tersebut menitipkan kepada Allah anak dan istrinya juga dalam doanya sebelum ia meninggalkan istrinya, niscaya ia akan mendapati istrinya juga hidup seperti anak yang dititipkannya kepada Allah.
“Ya Allah, Kami Titipkan Kepadamu Agama Kami Dan Berikanlah Kami Keteguhan Iman Kepadamu Sampai Kami Menjumpaimu Hari Kiamat Nanti, Wahai Allah Tuhan Semesta Alam”

(Dikutip dr ta'lim Ust Saifullah Anshar, Lc di Masjid Nurul Hikmah DPD Wahdah Islamiyah Makassar)


sumber :http://abubaid.blogspot.com/2012/06/kisah-unik-di-zaman-umar-bin-khattab.html

BULAN RAMADHAN. ANTARA PAHALA DAN DOSA

Bulan Ramadhan memiliki  banyak keutamaan dibandingkan  bulan-bulan lainnya; di dalamnya al-Qur`an diturunkan, puasa yang merupakan salah satu rukun Islam juga diwajibkan pada bulan iniو malam yang lebih baik dari seribu bulan juga ada dalam bulan ini dan di samping itu semua, segudang fadhilah lain pun menanti di bulan mubarak ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallohu alaihi wasallam memberi kabar gembira kepada para sahabatnya dengan sabdanya:
قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
"Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang mubarak (diberkahi). Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan dibelenggu. Juga terdapat dalam bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikan lailatul qadr, maka ia orang yang terhalang dari kebaikan." (HR. Nasa`i dan Ahmad serta dinyatakan shahih oleh Albani).
         Ramadhan adalah tamu yang datang sebagai nikmat yang sangat besar bagi hamba-hamba Allah; di bulan ini para hamba Allah berkompetisi dengan sekian banyak jenis ibadah untuk meraih predikat termulia yaitu taqwa.
          Secara umum, seluruh jenis kebaikan yang dianjurkan dalam syariat Islam hendaknya dioptimalkan kuantitas dan kualitasnya di bulan Ramadhan, namun ada beberapa amalan khusus yang sangat dianjurkan di bulan ini, diantaranya:
1.              Puasa
Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan berpuasa di bulan Ramadhan sebagai salah satu rukun Islam. Firman Allah Azza wa Jalla (artinya):
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah:183).
Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةُ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ الْحَرَامِ.
"Islam didirikan di atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tidak Ilah yang berhak disembah selain Allah  dan Muhammad  adalah rasul Allah  mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan pergi haji ke Baitul Haram." (HR. Bukhari dan Muslim).
Di antara sekian banyak amalan yang dianjurkan di bulan suci Ramadhan, maka puasa adalah amalan yang terbaik karena hukumnya wajib. Allah Azza wa Jalla mencintai para hamba-Nya yang melakukan ibadah-ibadah yang wajib sebelum memperbanyak amalan-amalan yang disunnahkan. Dalam hadits qudsi Allah berfirman
﴿...وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ...﴾
...tidaklah seorang hambaku bertaqarrub kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai melebihi apa yang aku wajibkan atasnya...(HR. Bukhari).
Puasa di bulan Ramadhan merupakan penghapus dosa-dosa yang terdahulu apabila dilaksanakan dengan ikhlas berdasarkan iman dan hanya mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala,  Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah subahanahu wa ta’ala, niscaya diampuni dosa-dosanya telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Inti dari puasa adalah mengekang hawa nafsu. Tidak melakukan apa yang Allah larang pada saat berpuasa walaupun mungkin mubah di luar bulan Ramadhan. Jadi puasa yang berpahala hanyalah yang mampu menghindarkan diri orang yang berpuasa dari hal-hal yang bisa merusak pahala puasa tersebut.
Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
“(Hakikat) puasa bukanlah (sekadar) menahan diri dari makan dan minum, akan tetapi puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang sia-sia dan keji. Jika seseorang mengumpatmu atau berlaku jahil atasmu maka katakan, “Aku seorang yang berpuasa, aku seorang yang berpuasa”    (HR. Ibnu Khuzaimah, Hakim dan Baihaqi serta dishahihkan oleh Albani)
Dalam hadits yang lain beliau mengingatkan,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ
Boleh jadi ada seorang yang berpuasa dan bagian yang didapatkannya hanyalah lapar dan haus serta boleh jadi seorang yang shalat malam akan tetapi bagian yang didapatkannya hanyalah begadang.”             (HR. Ibnu Majah dan Ahmad serta dishohihkan oleh Albani).
Orang yang berpuasa seyogyanya menghindarkan dirinya dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia, apatah lagi jika mengandung dosa. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan amalannya maka Allah tidak berkepentingan terhadap apa yang dilakukannya berupa meninggalkan makan dan minum” (HR. Bukhari).
       Sejatinya, orang yang berpuasa meninggalkan hal-hal terlarang. Tapi justru kita melihat fenomena sebagian umat Islam masih banyak yang tenggelam dalam kemaksiatan atau paling tidak hal-hal yang sia-sia, seperti menghabiskan waktu untuk menikmati berbagai hiburan di TV atau radio, bermain kartu, catur dan semacamnya. Para remaja juga banyak asyik dengan balapan motor pada waktu yang seharusnya dimanfaatkan untuk tadarrus Al Quran. Semua itu sangat dikhawatirkan jadi penyebab amalan puasa mereka tidak menuai pahala di sisi Allah. Karena itu, agar seorang muslim tidak terjatuh dalam perbuatan yang sia-sia hendaknya menata waktu sebaik-baiknya dan mengagendakan program ibadah yang akan dilakukannya selama bulan suci ini. Camkanlah setiap detik yang Anda lalui dalam bulan suci Ramadhan sangat bernilai untuk kebahagiaan dunia dan akhirat anda.

2.              Membaca al-Qur`an
      Al-Qur`an adalah pegangan dan pedoman hidup seorang muslim, karena itu sangat dianjurkan untuk dibaca pada setiap waktu dan kesempatan.   
Allah Tabaraka wa ta’la berfirman (artinya):
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (Al Quran) dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”           (QS. Fathir:29)
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:
اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا ِلأَصْحَابِهِ.                                 
"Bacalah al-Qur`an, sesungguhnya ia datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi orang yang akrab dengannya” (HR. Muslim).
     Membaca al-Qur`an lebih dianjurkan lagi pada bulan Ramadhan, karena pada bulan itulah diturunkan al-Qur`an.
Firman Allah Azza wa Jalla:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS: al-Baqarah:185).
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam yang saban hari membaca Al Quran ketika datang bulan Ramadhan beliau makin memperbanyak, seperti diceritakan dalam hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau bertutur:
وَلاَ أَعْلَمُ نَبِيَّ الله ِقَرَأَ الْقُرْآنَ كُلَّهُ فِى لَيْلَةٍ, وَلاَ قَامَ لَيْلَةً حَتَّى يُصْبِحَ وَلاَ صَامَ شَهْرًا كَامِلاً غَيْرَ رَمَضَانَ.
"Saya tidak mengetahui Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pernah mengkhatamkan al-Qur`an dalam waktu hanya semalam, shalat sepanjang malam, dan puasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan." (HR. Ahmad dan Nasai serta dishahihkan oleh Albani).
          Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma yang diriwayatkan Bukhari, disebutkan bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam melakukan tadarus al-Qur`an bersama Jibril alaihis salam di setiap bulan Ramadhan.
      Para Salaf Sholeh sangat memahami keutamaan memperbanyak membaca Al Quran di bulan Ramadhan. Imam Zuhri ketika ditanya tentang amalan yang dianjurkan di bulan Ramadhan beliau menjawab. “Bulan Ramadhan hanyalah untuk membaca Al Quran dan memberi makan fakir miskin”.
Jika Ramadhan telah masuk, Imam Sufyan Ats Tsauri meninggalkan ibadah-ibadah sunnah lain untuk konsentrasi membaca Al Quran.
Imam Malik pada saat masuk bulan Ramadhan beliau menghindari majelis ilmu untuk memfokuskan dirinya membaca Al Quran.
Al Aswad menamatkan Al Quran di bulan Ramadhan setiap dua malam begitu pula Nakha-i terutama pada 10 terakhir bulan Ramadhan.
Seorang tabi’in mulia yang bernama Qatadah bin Di’amah As Sadusi menamatkan Al Quran setiap 3 hari selama bulan Ramadhan dan pada sepuluh terakhir beliau tamatkan setiap malamnya.
Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah keduanya menamatkan Al Quran selama bulan Ramadhan sebanyak 60 kali dan itu dibacanya di luar shalat.
Lalu bagaimana dengan kita para pengaku pencinta dan pengikut Salaf? Seharusnya setiap kita menargetkan untuk mengkhatamkan Al Quran pada bulan Ramadhan minimal sekali. Siapa yang tidak mampu mengkhatamkan di bulan ini berarti dia tidak akan mampu mengkhatamkannya di bulan selainnya.

3.              Menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan melaksanakan shalat Tarawih berjamaah di mesjid(1)
         Shalat lail merupakan salah satu di antara shalat yang hukumnya sunnah muakkadah yang sangat ditekankan untuk dilaksanakan, dan dia merupakan shalat sunnah yang paling afdhal.
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Shalat yang paling afdhal sesudah shalat wajib adalah shalat lail”    (HR. Muslim)
Karena itu shalat lail pada bulan Ramadhan yang dikenal dengan nama shalat Tarawih, lebih dianjurkan dan dikuatkan hukumnya dari bulan-bulan lainnya karena dikerjakan pada bulan yang paling afdhal.
Diantara dalil yang menunjukkan keutamaan shalat tarawih adalah sabda Rasulullah shallallohu alaihi wasallam :
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
 “Barang siapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan / shalat Tarawih dengan dasar iman dan ikhlas (mengharapkan pahala), maka diampuni baginya dosa yang telah lampau”. (HR. Bukhari dan Muslim)
     Tidak sebagaimana lazimnya shalat sunnah lain yang afdhalnya ditunaikan di rumah adapun shalat tarawih maka dia dianjurkan dilakukan secara berjamaah di mesjid-mesjid kaum muslimin. Hal ini berdasarkan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan dihidupkan lagi oleh khalifah Umar bin Khaththab radhiyallohu anhu serta terus dilestarikan oleh kaum muslimin di seluruh dunia hingga hari ini.
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah menyebutkan keutamaan shalat tarawih secara berjamaah dalam hadits yang diceritakan oleh Abu Dzar radhiyallohu anhu,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتِّى ينْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامَ لَيلَةٍ …
 “Sesungguhnya barang siapa yang shalat (tarawih) bersama imam hingga selesai maka dicatat baginya (seperti) dia shalat (tarawih) sepanjang malam”. (HR. Ashhabus Sunnan dan dishohihkan oleh Albani)
     Imam Abu Dawud rahimahulloh menuturkan : “Saya pernah mendengar Imam Ahmad ditanya : “Yang mana lebih engkau sukai seseorang shalat Tarawih di bulan Ramadhan berjamaah atau sendirian ?, Beliau menjawab : “Shalat berjamaah”. Dan beliau (Imam Ahmad) pernah berkata : “Saya menyukai seseorang shalat bersama imam dan ikut witir bersamanya karena Nabi shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya seseorang jika shalat bersama imam hingga selesai maka Allah mencatat baginya (pahala) shalat sepanjang malam”.
Kemudian Imam Abu Dawud rahimahulloh berkata : “Imam Ahmad pernah ditanya (lagi) sedang saya mendengar : “Apakah (lebih afdhal) mengakhirkan shalat Tarawih hingga akhir malam ?”, beliau menjawab : “Tidak, kebiasaan kaum muslimin lebih saya sukai”.
Berkata Asy Syaikh Al Albani rahimahulloh ketika menjelaskan perkataan Imam Ahmad yang terakhir ini : “Yakni beliau lebih menyukai shalat Tarawih secara berjamaah di awal waktu dibandingkan shalat sendirian di akhir malam, walaupun shalat yang dilaksanakan di akhir malam mempunyai keutamaan khusus, namun berjamaah lebih afdhal karena Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah melaksanakannya dan menghidupkannya bersama kaum muslimin di masjid. Oleh karena itu hal ini (shalat Tarawih berjamaah) terus dilakukan oleh kaum muslimin sejak zaman Umar radhiyallohu anhu hingga saat ini”.
          Fenomena menggembirakan yang ada di tengah masyarakat kita antusias untuk mengerjakan shalat tarawih cukup besar akan tetapi hal yang perlu diingatkan kepada setiap muslim yang merindukan pahala dari shalatnya agar melaksanakan shalat tarawih ini dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah karena boleh jadi seseorang mengerjakan shalat tapi tidak mendapatkan pahala shalatnya bahkan boleh jadi di sisi Allah dia tidak dianggap shalat. Karena itu sebaiknya kita memilih mesjid yang imamnya melaksanakan shalat dengan thuma’ninah agar ruh dari sholat bisa kita raih dan keberkahan tarawih di bulan suci ini bisa kita rasakan.

4.              Memperbanyak doa
       Dalam rangkaian ayat Al-Qur’an mengenai puasa di bulan Ramadhan terselip suatu ayat yang secara khusus membicarakan soal berdoa. Allah Azza wa Jalla berfirman, (artinya):
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah ayat 186)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini, “Allah Ta’ala menyebut ayat ini yang memotivasi untuk berdoa terletak diantara ayat-ayat tentang hukum puasa sebagai arahan agar bersungguh-sungguh berdoa pada saat menyempurnakan bulan puasa bahkan pada setiap berbuka puasa”
        Bulan Ramadhan merupakan bulan di mana orang beriman mempunyai kesempatan begitu luas untuk berdoa kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan waktu-waktu mustajab (saat doa berpeluang besar dikabulkan Allah) tersebar dalam beberapa momen khusus sepanjang Ramadhan. Maka, saudaraku, manfaatkan kesempatan emas dengan mengajukan berbagai permintaan kepada Allah ta'aala terutama doa-doa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam  seperti doa pada saat berbuka puasa, menghadiri jamuan buka puasa, setelah shalat witir dan lain-lain(2).
5.              Memperbanyak sedekah:
    Rasulullah shallallohu alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawanan beliau makin bertambah di bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, beliau berkata:
"Rasulullah r adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat Jibril alaihis salam menemui beliau, …     (HR. Bukhari).
       Diantara bentuk sedekah yang dianjurkan pada bulan suci ini adalah memberikan buka puasa terutama bagi fakir miskin
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Barangsiapa yang memberikan buka puasa maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tanpa harus mengurangi pahala orang berpuasa itu sedikit pun(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah serta dishahihkan oleh Albani)
     Apakah anda menginginkan puasa Ramadhan anda tahun ini nilainya dua kali lipat? Apakah anda mengharapkan pahala dua Ramadhan dalam satu Ramadhan yang anda jalani? Perhatikan hadits di atas ternyata kita berpeluang untuk mewujudkan keinginan kita itu dengan cara memberikan buka puasa kepada orang yang berpuasa. Dikisahkan bahwa sahabat yang mulia Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma jika berpuasa beliau senantisa berbuka bersama orang-orang miskin

6.              Melaksanakan ibadah umrah:
     Umroh dalam bahasa Arab berarti ziyarah, yaitu melaksanakan ziyarah ke Baitullah untuk melaksanakan serangkaian ibadah yang diajarkan tuntunannya oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Jika saja umroh yang dilakukan berulang kali akan melebur dosa yang dilakukan diantara kedua umroh maka umroh yang dikerjakan di bulan Ramadhan pahalanya dinilai sama dengan berhaji. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
فَعُمْرَةٌ فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي
"Umrah di bulan Ramadhan sama dengan ibadah haji atau haji bersamaku." (HR. Bukhari dan Muslim)
     Maka bagi anda yang memiliki kemampuan, mari meraih pahala haji bersama Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dengan cara berumroh di bulan Ramadhan. Tentu saja hal yang ironi jika seorang muslim yang mampu dan telah berkali-kali mengadakan ziyarah dan wisata di berbagai negeri lalu tidak menyempatkan dirinya berkunjung ke tanah suci yang dengan mengunjunginya dia akan mendapatkan berbagai pahala dan sebagai pelebur dosa-dosanya. Namun perlu dicermati bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam tidak membatasi pelaksanaannya pada sepuluh hari terakhir bulan tersebut, walaupun tentu saja hal itu lebih afdhal, Wallohu A’lam

7.              Menghidupkan Malam Lailatul Qadar(3)                                                                                                                                             
       Lailatul qadar dalam bahasa Arab bermakna malam kemuliaan Firman Allah Azza wa Jalla:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (QS.al-Qadar :3)
Seribu bulan itu sama dengan 83 tahun 4 bulan, hal itu berarti seorang yang mendapatkannya lalu beribadah padanya seakan-akan umurnya telah bertambah sebanyak 83 tahun 4 bulan yang kesemuanya diisi dengan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kapan sebenarnya lailatul qadar dan dari sekian banyak pendapat yang ada maka pendapat yang terkuat bahwa ia terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, terlebih lagi pada malam-malam ganjil, yaitu malam 21, 23,25,27, dan 29.
Malam itu adalah pelebur dosa-dosa di masa lalu, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:
وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
"Dan barangsiapa yang beribadah pada malam 'Lailatul qadar' semata-mata karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang terdahulu." (HR. Bukhari dan Muslim)
          Menghidupkan Lailatul qadar adalah dengan memperbanyak ibadah-badah berupa shalat malam, membaca al-Qur`an, zikir, membaca shalawat dan berdoa. Aisyah radhiyallohu anha ketika menggambarkan mujahadah Rasulullah shallallohu alaihi wasallam di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, beliau mengatakan,
Jika sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan telah masuk maka beliau mengencangkan kain sarungnya (tidak menggauli lagi istri-istrinya), menghidupkan malamnya dan membangunkan anggota keluarganya(HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang mendapatkan karunia bertemu dengan lailatul qadar dianjurkan membaca doa ini :
اَللّهُمّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فاَعْفُ عَنِّي
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf,  suka memaafkan, maka maafkanlah aku." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah serta dishahihkan oleh Albani)

8.              I'tikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan(4)
     I'tikaf dalam bahasa Arab berarti berdiam diri atau menahan diri pada suatu tempat, untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. Sedang dalam istilah syar'i, i'tikaf berarti berdiam di masjid untuk beribadah kepada Allah dengan sifat dan cara tertentu sesuai yang telah diatur oleh syari'at.
I'tikaf merupakan salah satu sunnah yang telah ditinggalkan oleh kebanyakan ummat Islam padahal ibadah ini tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam walaupun sekali hingga wafat beliau, seperti yang diceritakan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha:
"Sesungguhnya Nabi shallallohu alaihi wasallam selalu i'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau meninggal dunia, kemudian istri-istri beliau beri'tikaf sesudah beliau." (HR. Bukhari dan Muslim)
       Tabi’in yang mulia Al Imam Ibnu Syihab Az Zuhri berkata, “Sangat mengherankan keadaan kaum muslimin, mereka telah meninggalkan i’tikaf padahal Nabi r tidak pernah meninggalkannya sejak masuk ke kota Medinah hingga wafatnya”
           Diantara keutamaan ibadah I’tikaf, dia merupakan wasilah (cara) yang digunakan oleh Nabi shallallohu alaihi wasallam untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar sebagaimana dituturkan oleh Abu Said Al Khudri radhiyallohu anhu,
“Nabi shallallohu alaihi wasallam telah  beri’tikaf di sepuluh awal bulan Ramadhan, kemudian beliau beri’tikaf di sepuluh pertengahan, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya saya telah beri’tikaf sepuluh awal (bulan Ramadhan) (untuk) mencari malam Lailatul Qadar kemudian saya beri’tikaf di sepuluh pertengahan (Ramadhan) kemudian saya didatangi (malaikat) lalu dikatakan kepadaku: Sesungguhnya malam Lailatul Qadr itu di sepuluh akhir (bulan Ramadhan), karenanya siapa di antara kalian yang mau beri’tikaf, maka hendaknya dia beri’tikaf! Maka beri’tikaflah manusia (para sahabat) beserta beliau …” (HR. Bukhari dan Muslim)
        Maka bagi kita yang merindukan malam seribu bulan mari mendekat ke rumah-rumah Allah di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, tuntaskan segala kesibukan dan urusan duniawi anda sebelum malam-malam mulia tersebut karena uswah hasanah kita telah mencontohkan dengan pelbagai kesibukan yang beliau miliki namun dalam setiap tahunnya beliau ‘cuti’ selama sepuluh hari untuk konsentrasi bertaqarrub dan bermunajat kepada Rabbnya. Seharusnya paling tidak setiap kita pernah merasakan bagaimana keindahan i’tikaf walaupun  hanya sekali dari umur yang Allah berikan kepadanya.

          Demikianlah beberapa ibadah penting yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan di bulan Ramadhan dan telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Semoga kita termasuk di antara orang-orang yang mendapat taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengamalkannya agar kita benar-benar mendapatkan kebaikan dan keberkahan bulan Ramadhan dan bukan menjadi orang yang merugi dan celaka dengan kedatangan bulan yang mulia ini. Cukuplah hadits ini sebagai renungan bagi kita semua:
« رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَىَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ »
“Celakalah seseorang yang namaku disebut di sisinya lalu dia tidak bershalawat kepadaku,celakalah seseorang yang datang kepadanya bulan Ramadhan lalu berlalu sebelum dia diampunkan dan celakalah seseorang kedua orang tuanya telah mencapai usia renta di sisinya namun tidak memasukkannya ke surga” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu dan dishohihkan Albani)

Wallohul Musta’an wahuwa Waliyyut Taufiq


(1)  Lihat kembali tulisan kami “Menghidupkan Malam Ramadhan Dengan Shalat Tarawih”
(2)  Baca “Tashiih Ad Du’a (hal 505-507) karya Al Allamah DR. Bakar bin Abdullah Abu Zaid rahimahulloh
(3)  Baca tulisan kami, “Menguak Tabir Lailatul Qadr”
(4)  Baca tulisan kami, “Menggapai Lailatul Qadr Dengan Beri’tikaf”
 

Rabu, 30 Mei 2012

HUKUM MEMAKAN KATAK

Bismillah..
Hadits yang melarang membunuh katak diriwayatkan oleh Abu Daud (no. 3871 dan 5269), Nasaai (no. 4355) dan Daarimi (no. 1998)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِي دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا

Dari Abdurrahman bin Utsman radhiyallohu anhu bahwa seorang dokter bertanya kepada Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam tentang katak dijadikan obat maka Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.
Derajat Hadits :
Imam Abu Daud telah meriwayatkan hadits ini dengan sanad sebagai berikut : Abu Daud —> Muhammad bin Katsir —> Sufyan Ats Tsauri —> Ibn Abi Dzi’b —> Said bin Kholid —> Said bin Musayyib —> Abdurrahman bin Utsman
Sanad hadits Abu Daud di atas semuanya perowi yang tsiqoh (terpercaya) kecuali Said bin Kholid, derajat beliau menurut Ibnu Hajar : shaduq (jujur). Dengan demikian sanad Abu Daud hasan namun Syaikh Albani menghukumnya sebagai hadits shohih, mungkin saja karena beliau melihat beberapa syawahid (pendukung) yang menguatkannya. Kesimpulannya hadits ini adalah hadits yang diterima dan pantas dijadikan hujjah.
Syarah Hadits :
* Imam Khaththabi rahimahulloh berkata, “Hadits ini merupakan dalil bahwa katak haram dimakan dan tidak termasuk hewan air yang boleh dimakan…”
* Imam Abul Barakaat Ibn Taimiyah dalam kitab beliau Muntaqa Al Akhbar memasukkan hadits ini dalam bab yang beliau beri judul : “Bab Yang Diambil Manfaat tentang Hukum Keharamannya Berdasarkan Perintah untuk Membunuhnya atau Larangan Membunuhnya”. Maksud beliau bahwa kita bisa mengambil faidah haramnya suatu hewan berdasarkan salah satu dari dua sebab yaitu adanya perintah untuk membunuhnya atau adanya larangan membunuhnya.
* Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahulloh –ketika menjelaskan hadits ini- beliau berkata, “Larangan membunuh katak menunjukkan haramnya dan tidak boleh dijadikan sebagai obat karena seandainya dibolehkan membunuhnya maka boleh saja digunakan untuk obat, karena kaidahnya adalah sesuatu yang boleh dibunuh dan digunakan maka boleh dijadikan sebagai obat dan sebaliknya sesuatu yang tidak boleh dibunuh maka tidak boleh dijadikan sebagai obat dan tidak boleh dimakan. Hal ini menunjukkan bahwa katak tidak boleh dimakan dan ini merupakan pengecualian dari hukum hewan yang hidup di laut. Maka katak tidak boleh dimakan karena Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam telah melarang membunuhnya karena seandainya boleh dimakan tentu beliau mengizinkan untuk mengambil manfaat darinya sebagai makanan dan obat akan tetapi ketika beliau melarangnya maka jelaslah bahwa katak tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijadikan sebagai obat”
Pendapat Fuqaha tentang larangan membunuh katak
Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang larangan yang terdapat pada hadits di atas; apakah haram atau makruh?
Pendapat Pertama : Makruh; ini pendapat madzhab Malikiyyah dan sebagian dari Syafi’iyyah dan Hanabilah
Pendapat Kedua : Haram; ini pendapat Jumhur ulama yaitu dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Imam Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah juga sepakat mengharamkannya. Pendapat kedua inilah yang rojih karena hukum asal dari larangan adalah haram,wallohu a’lam
Sebelum kami mengakhiri penjelasan ini maka hal lain yang perlu diingatkan adalah ketika kita mengatakan memakan katak haram berarti kita juga mengharamkan untuk menjadikannya lahan bisnis, sebagaimana sabda Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam,
(وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ )

“…Sesungguhnya jika Allah mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu maka berarti Allah juga mengharamkan harganya” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Wallohu A’lam bish Shawab wa Huwa Waliyyu At Taufiq

HADITS AHAD, HUJJAHKAH ??

Membahas Tentang Polemik Hadits Ahad
Oleh: Abu Shafa Luqmanul Hakim

Muqaddimah
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام علي رسوله الأمين وعلي آله وأصحابه الطاهرين ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين, أما بعد :
            Ikhwah yang dirahmati Allah, salah satu karakteristik ahlus sunnah wal jamaah dalam manhajul istidlal[1] adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Nashir bin Abdul Karim al-Aql dalam sebuah risalahnya:
كل ما صحّ من سنة رسول الله وجب قبوله والعمل به، وإن كان آحاداً في العقائد وغيرها
Artinya: Seluruh yang shahih dari hadits Rasulullah wajib untuk diterima dan diamalkan baik yang berkaitan dengan aqidah ataupun selainnya, meski hadits tersebut ahad.[2]
Hal ini merupakan bukti nyata dari ketaatan yang sempurna kepada Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam-, dan sebagai aplikasi ungkapan cinta kita yang murni kepada beliau, yang tentunya merupakan implementasi nyata bagi syahadat yang senantiasa terlafadz dalam lisan basah kita "Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah".
Sebuah bait Syair dengan sangat fashih terlantunkan:
لو كان حبّك صادقا لأطعته          فإن المحبّ لمن يحبّ مطيع
Artinya: Seandainya cintamu sejati niscaya engkau akan mematuhinya, sesungguh sang pecinta akan patuh kepada yang dicintai.[3]
            Kendati pemaparan tentang manhajul istidlal yang benar menurut manhaj ahlus sunnah -terkhusus berkaitan dengan hadits-hadits Nabi- sarat menghiasi kitab para ulama kita dari masa ke masa, namun sangat disayangkan, ternyata sangat banyak dari kalangan kaum muslimin yang buta tentang hal ini, sehingga mereka mudah terperangkap ke dalam jaring-jaring iblis dalam masalah ini, maka ditolaklah sunnah-sunnah Nabi dan dikritiklah hadits-hadits yang tidak singkron dengan logika mereka [menurut sangkaan mereka]. Jika kita tilik secara umum, maka para pengingkar hadits bisa dibagi menjadi dua fraksi:
Yang pertama: Golongan yang mengingkari seluruh hadits Rasulullah, menolak untuk berhujjah dengan sunnah bahkan melecehkannya, merasa cukup dengan al-Qur-an sebagai satu-satunya referensi otentik, dan biasanya mereka masyhur dengan julukan Qur-aniyyun atau Inkarus Sunnah
Untuk kelompok ini, alangkah indahnya jika kita hadiahkan sebuah atsar dari tabi'in yang mulia Hasan al-Bashrii –rahimahullah-:
أن عمران بن حصين ، كان جالسا ومعه أصحابه,  فقال رجل من القوم : لا تحدثونا إلا بالقرآن ، قال : فقال له : ادنه، فدنا، فقال : « أرأيت لو وكلت أنت وأصحابك إلى القرآن أكنت تجد فيه صلاة الظهر أربعا وصلاة العصر أربعا والمغرب ثلاثا ، تقرأ في اثنتين ، أرأيت لو وكلت أنت وأصحابك إلى القرآن أكنت تجد الطواف بالبيت سبعا والطواف بالصفا والمروة ، ثم قال : أي قوم خذوا عنا فإنكم ، والله إلا تفعلوا لتضلنّ
Artinya: Bahwa Imran bin Hushain bekumpul dengan para sahabatnya, lalu seseorang mengatakan kepada beliau: jangan engkau ajarkan sesuatu kepada kami kecuali al-Qur-an saja!!, maka beliaupun memanggilnya kemudian berkata: tahukah engkau, seandainya engkau hanya belajar dari al-Qur-an saja, apakah engkau akan mengetahui bahwa shalat dhuhur empat rakaat, shalat ashar empat rakaat dan shalat maghrib tiga rakaat dengan membaca ayat alqur-an di dua rakaat pertama???, tahukah engkau, jika seandainya engkau hanya mengambil al-Qur-an saja sebagai dalil, apakah engkau akan mengetahui bahwa jumlah thawaf di Ka'bah tujuh kali, dan jumlah Sa'i juga tujuh kali???, kemudian beliau mengatakan: wahai kaum, Belajarlah dari kami!! Jika tidak, maka niscaya kalian akan tersesat.[4]
            Duhai, sebuah hujjah kokoh keluar dari lisan yang sarat ilmu seorang sahabat yang mulia Imran bin Hushain, mematahkan syubhat lemah dari seseorang yang terkungkung nafsu, sekaligus mengukuhkan sebuah paradigma bahwa al-Qur-an dan sunnah bak dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dan dengarkan pula perkataan dari seorang ulama rabbani Ayub as-Sakhtiyani –rahimahullah- agar kemudian kita menjauhi pemikiran sesat ini:
إذا حدثت الرجل بالسنة فقال : دعنا من هذا وحدثنا من القرآن ، فاعلم أنه ضالّ مضلّ 
Artinya: jika engkau mengabari seseorang dengan hadits, kemudian dia mengatakan: jauhkanlah kami dari hadits dan bicaralah engkau dari al-Qur-an saja!!, ketahuilah bahwa orang tersebut sesat dan menyesatkan.[5]
            Duhai, seandainya mereka –para Ingkarus Sunnah- menyadari bahwa pengingkaran terhadap sunnah Nabi –shallallahu 'alaihi wasallam- pada hakikatnya adalah perpanjangan dari pengingkaran terhadap al-Qur'an, pasalnya kitab suci tersebut sarat dengan perintah untuk mencintai, mengagungkan dan memuliakan serta mengikuti sunnah Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam-, beberapa contoh dari ayat tersebut:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya: Dan apa yang diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah, dan apa yang dilarang oleh beliau maka tinggalkanlah.[6]
من يطع الرسول فقد أطاع الله  
Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah.[7]
ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan taatilah para pemimpin kalian.[8]
            Oleh karena itu, tidaklah mengheran jika al-Imam Syafi'i –rahimahullah- menukil ijma' umat untuk mengagungkan sunnah Nabi kita yang tercinta, beliau mengatakan:
أجمع المسلمون على أن من استبانت له سنة رسول الله  لم يكن له أن يدعه لقول أحد من الناس
Artinya: Telah tegak ijma' kaum muslimin bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Nabi, maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena [mengikuti, pent.] perkataan salah seorang manusia [ulama].[9]

Kedua: Golongan yang menolak hadits ahad, baik memungkirinya secara mutlak dalam masalah aqidah dan hukum-hukum fiqh, ataupun meninggalkannya dalam masalah aqidah saja. Kelompok inilah yang akan kita bahas dalam risalah kecil ini, semoga Allah mencurahkan taufiqnya kepada kami sehingga bisa membahas masalah ini dengan sebaik mungkin.
            Dan untuk memudahkan pemaparan maka kami akan bagi pembahasan ini dalam beberapa point, Yang Pertama: Definisi Hadits Ahad, Yang Kedua: Dalil Tentang Kehujjahan Hadits Ahad, Ketiga: Menjawab Syubhat. Inilah poin-poin yang akan kami bahas, semoga Allah menjadikan makalah yang sederhana ini bermanfaat bagi kami dan bagi seluruh kaum muslimin.

Yang Pertama: Definisi Hadits Ahad
            Jika kita ingin mengetahui definisi Hadits Ahad, maka akan lebih mudah jika kita mengenal definisi Hadits Mutawatir terlebih dahulu, karena hadits ahad merupakan antonim dari hadits mutawatir. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan rawi yang banyak dalam setiap tingkatan rawi, sehingga mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam kedustaan, dan sumber pengambilan beritanya adalah panca indera dan bukan dugaan belaka.[10]
            Ikhwah yang dirahmati Allah, jika kita perhatikan definisi Hadits Mutawatir di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa syarat dari hadits mutawatir ada 4:
1.      Jumlah perawinya banyak, sehingga mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam dusta.
  1. Sumber haditsnya bukan dari dugaan belaka.
  2. Sumber periwayatannya adalah panca indera, contohnya: saya mendengar atau saya melihat.
  3. Semua syarat ini terpenuhi dalam setiap tingkatan sanad.
Contoh hadits mutawatir adalah sabda Nabi Muhammad:
  مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya: Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.[11]
            Inilah pemaparan yang sangat ringkas tentang definisi hadits mutawatir, nah..apabila kita telah memahami definisi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sebuah hadits mutawatir, maka akan mudah bagi kita  untuk mengetahui tentang hakikat hadits ahad. Definisi yang dari ulama terkait Hadits Ahad sangatlah beragam, namun perbedaan definisi para ulama kita dalam masalah ini -pada umumnya- adalah perbedaan dalam konteks redaksi saja, adapun subtansinya maka berujung pada makna yang serupa, definisi inti dari Hadits Ahad adalah :
ما قصر عن صفة التواتر ، ولم يقع به العلم وإن روته الجماعة
Artinya: Hadits yang tidak sampai pada derajat mutawatir, dan belum memberikan faidah ilmu [yakin], meski diriwayatkan oleh jumlah yang banyak [selama tidak sampai pada derajat mutawatir].[12]
Hadits ahad terbagi menjadi 3 bagian:
1. Hadits Gharib
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.[13]
Contohnya:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: Sesungguhnya amalan tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap manusia akan mendapatkan pahala selaras dengan niatnya.[14]

2. Hadits 'Aziz
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi dalam setiap tingkatan sanadnya.[15]
Contohnya:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Artinya: Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga mencintai aku melebihi cintanya atas bapaknya dan anaknya.[16]

3. Hadits Masyhur
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau bahkan lebih dalam setiap tingkatan sanad, selama belum sampai pada derajat mutawatir.[17]
Contoh:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambanya, akan tetapi mencabut ilmu dengan wafatnya ulama.[18]
            Inilah sedikit penjelasan tentang hadits ahad beserta pembagiannya, kesimpulannya adalah hadits ahad merupakan hadits yang belum mencapai derajat mutawatir meski diriwayatkan oleh beberapa rawi dalam setiap tingkatan sanadnya.

Yang Kedua: Dalil Tentang Hujjahnya Hadits Ahad
            Ikhwah yang dirahmati oleh Allah, para ulama ahlus sunnah berpendapat bahwa jika hadits ahad telah memenuhi syarat hadits shahih[19] maka bisa dijadikan sebagai hujjah baik dalam masalah aqidah ataupun dalam masalah hukum syar'i, dalil-dalil dari pendapat ini adalah:

v     Dalil Dari Ayat al-Qur-an

1.      Firman Allah:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi berperang semuanya, mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka pergi untuk menuntut ilmu, agar kemudian memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali dari medan perang agar mereka dapat berhati-hati.[20]
            Perhatikan kalimat "tho-ifah" dalam ayat diatas [yang kami garis bawahi], telah terjadi kesepakatan di kalangan para ahli bahasa bahwa kalimat tersebut dapat digunakan untuk satu orang atau lebih[21]. Olehnya ayat diatas mereka dalil bagi para ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad bisa diterima dan diamalkan, ayat di atas memberi perintah kepada kaum muslimin untuk mengutus seseorang ataupun lebih dalam rangka untuk menuntut ilmu agama, agar kemudian orang yang diutus tersebut bisa mengajarkan dan menyampaikan ilmunya jika telah kembali dari tempat menuntut ilmu.

2. Firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Artinya: Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah yang kami turunkan berupa keterangan dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat seluruh makhluk yang melaknat.[22]
            Ayat di atas memerintahkan kita untuk menjelaskan dan menyampaikan ilmu, dan melarang untuk menyembunyikannya. Perintah dan larangan ini berlaku untuk setiap individu muslim bukan hanya kepada jamaah atau jumlah-jumlah tertentu, dan perlu diketahui bahwa meriwayatkan hadits adalah bentuk dari bayan [penjelasan], Nah.. jika memang hadits ahad ditolak maka tentu ayat di atas adalah perintah yang sia-sia, Allahu musta'an.

3. Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: Wahai orang-orang yan beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka klarifikasilah berita tersebut dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah atas suatu kaum karena kebodohanmu, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan tersebut.[23]
            Ayat ini merupakan salah satu rambu dalam masalah pemberitaan, dengan sangat gamblang dipaparkan dalam ayat di atas, bahwa kabar orang fasik [yang memiliki cacat dari sisi agama] harus diklarifikasi dahulu agar kemudian bisa mengambil sikap yang benar terhadap berita tersebut, dan secara tersirat ayat di atas merupakan isyarat bahwa jika yang datang membawa berita adalah orang yang berkualifikasi 'adil [baik agamanya] dan dhabith [baik hafalannya] maka berita yang dibawa bisa dipercaya.

4. Firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.[24]
Ayat ini memerintahkan kepada kita untuk bertanya kepada orang yang memiliki ilmu [ulama] jika tidak mengetahui tentang sesuatu, dan apabila kita bertanya hanya kepada satu orang ulama saja, maka kita telah mengamalkan ayat di atas, sebab ayat di atas tidak menentukan jumlah tertentu agar jawabannya menjadi mutawatir, sehingga kita boleh mengamalkan jawaban dari ulama tersebut. Bahkan ayat di atas justru merupakan dalil bagi diterimanya hadits ahad.

5. Firman Allah:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
Artinya: Dan janganlah kamu mengerjakan apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya.[25]
Imam Sarakhsi –rahimahullah- berkata: sesungguhnya mengamalkan hadits ahad adalah wajib, dan tidak wajib beramal kecuali dengan pijakan ilmu, Allah berfirman: "Dan janganlah kamu mengerjakan apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya", dan berfirman berkaitan dengan berita yang dibawa oleh orang fasik:" agar kamu tidak menimpakan suatu musibah atas suatu kaum karena kebodohanmu". Dan lawan kata kebodohan adalah ilmu, sedangkan lawan kata kalimat Fasik adalah 'adalah [sifat adil].[26]

v     Dalil Dari Hadits Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wa sallam-.

1.      Sabda Nabi:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِى فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا
Artinya: Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah orang yang mendengarkan perkataanku lalu dia memahaminya dan menghafalnya lalu menyampaikanya kepada orang lain.[27]
Hadits ini adalah hadits mutawatir, yang menjelaskan kepada kita tentang untaian doa dari Nabi kita yang tercinta, bagi orang-orang memiliki sifat di atas, mendengarkan perkataan Nabi yang mulia, lalu berupaya untuk memahaminya dan menghafalnya, kemudian menyampaikan hadits tersebut kepada yang lain. Jika kita menelaah hadits di atas maka niscaya kita akan dapatkan bahwa hadits tersebut tidak mempersoalkan jumlah sang perawi, akan tetapi yang justru dipaparkan adalah kualitas sang perawi.
2. Sabda Nabi kepada Mu'adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِى قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
Artinya: Wahai Mu'adz, sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, jika kamu telah berjumpa dengan mereka hendaknya yang dakwahkan dahulu adalah mengucapkan kalimat tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.[28]
            Ikhwah yang dirahmati Allah, hadits ini merupakan hakim pemutus kontraversi tentang hadits ahad, yang mana Nabi mengutus para sahabat sendiri-sendiri dalam rangka untuk mendakwahkan tauhid ke setiap kabilah bangsa arab maupun ke yang lainnya. Ini tentu menegaskan bahwa yang menjadi barometer dalam kesahihan sebuah hadits bukanlah jumlah rawinya, akan tetapi kwalitas dari para perawi dari hadits tersebut, dan masih banyak hadits yang serupa diantaranya pengutusan Abu 'Ubaidah al-jarrah ke Yaman, pengutusan Mush'ab bin 'Umair ke Madinah,  pengutusan Dihyah al-Kalbi ke raja Heraklius penguasa Romawi, perintah Nabi ke utusan 'Abdul Qais dan lain sebagainya.

v     Dalil dari Ijma'
Telah tegak ijma' dari kalangan sahabat dan tabi'in tentang kehujjahan hadits ahad[29], dan tidak ada satupun dari mereka yang membedakan antara masalah aqidah dan masalah hukum-hukum fiqih, bahkan pada saat itu belumlah masyhur pembagian hadits kepada Mutawatir dan ahad. Beberapa indikasi tegaknya ijma' di kalangan para sahabat dan tabi'in adalah:
1.            Pengutusan Rasulullah kepada setiap kabilah bangsa arab dan yang selainnya, yang mana Nabi hanya mengutus satu orang sahabat kepada kabilah tersebut demi untuk mendakwahkan tauhid, dan hal itu tidak diingingkari oleh para sahabat ataupun kabilah yang menjadi objek dakwah.
2.            Sebagian para sahabat meriwayatkan hadits dari sahabat yang lainnya, dan tidak ada pengingkaran dari Nabi ataupun dari kalangan ulama yang hidup pada jaman tersebut, diantara contoh dari fenomena ini adalah Abu Ayub al-Anshari meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah. dan simaklah perkataan sahabat Abdullah bin Abbas berikut ini:
جَاءَ بُشَيْرٌ الْعَدَوِىُّ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَجَعَلَ يُحَدِّثُ وَيَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَعَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ لاَ يَأْذَنُ لِحَدِيثِهِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ مَا لِى لاَ أَرَاكَ تَسْمَعُ لِحَدِيثِى أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ تَسْمَعُ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّا كُنَّا مَرَّةً إِذَا سَمِعْنَا رَجُلاً يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ابْتَدَرَتْهُ أَبْصَارُنَا وَأَصْغَيْنَا إِلَيْهِ بِآذَانِنَا فَلَمَّا رَكِبَ النَّاسُ الصَّعْبَ وَالذَّلُولَ لَمْ نَأْخُذْ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ مَا نَعْرِفُ.
Artinya: Busyair al-Adawi menghadap Abdullah bin Abbas dan kemudian dia mulai membacakan hadits dari Rasulullah, dan Abdullah bin Abbas tidak menyimak hadits tersebut dan tidak melihat kepadanya, maka dia mengatakan wahai Ibnu Abbas:"kenapa kamu tidak menyimak hadits-haditsku dari Rasulullah??", maka berkata Ibnu Abbas sesungguhnya kami dahulu jika mendengar seseorang membacakan hadits dari Rasulullah maka mata kami berlinang air mata, dan kami menyimaknya dengan sungguh-sungguh, namun ketika manusia sudah banyak berdusta maka kami tidak mendengarkan kecuali dari orang yang kami kenal.[30]
3. Banyaknya fenomena para sahabat Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- yang menerima hadits ahad dari sahabat yang lain, diantara contoh dari fenomena ini adalah Abu Bakar as-Shiddiq menerima dan mengamalkan hadits dari al-Mughirah bin Syu'bah dan Muhammad bin Maslamah dalam masalah bagian nenek dalam warisan yaitu seper-enam[31], Umar bin Khatthoob menerima hadits dari Abdurrahman bin 'Auf tentang mengambil jizyah [upeti] dari orang Majusi, karena Rasulullah bersabda:
سنوا بهم سنة أهل الكتاب
Artinya: Perlakukan mereka [orang majusi] seperti ahlul kitab.[32]
Dan beliau juga [Umar] menerima hadits dari Haml bin Malik tentang diyah [denda] membunuh janin, yaitu dengan memerdekakan budak baik laki-laki ataupun wanita[33], beliau juga menerima hadits dari Abdurrahman bin Auf dalam masalah penyakit Tha'un[34], dan beliau juga menerima hadits dari Sa'ad bin Abi Waqqash dalam masalah al-Mashu 'alal Khuffain [mengusap sepatu][35], Zaid bin Tsabit menerima hadits dari seorang sahabat wanita bahwa wanita haidh yang berhaji boleh meninggalkan mekah tanpa thawaf wada'[36], bahkan para sahabat menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq bahwa para Nabi tidak meninggalkan warisan untuk keluarga mereka:
إنّا معشر الأنبياء لا نورث ما تركناه صدقة
Artinya: Kami para Nabi tidak membagikan warisan [kepada keluarga mereka], harta warisan yang kami tinggalkan adalah sedekah.[37]
Para sahabat juga menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq tentang tempat dikuburnya Nabi:
الأنبياء يدفنون حيث ماتوا
Artinya: Para Nabi dikuburkan di mana saja mereka wafat.[38]
Dan para sahabat juga mengamalkan hadits dari Aisyah tentang wajibnya mandi besar jika bertemu dua yang dikhitan [kelamin laki-laki dan kelamin wanita] meskipun belum ejakulasi.[39]
Inilah fakta sejarah yang terpahat dalam kitab para ulama kita yang menjelaskan tegaknya ijma' para sahabat untuk menerima hadits ahad dalam masalah apapun juga, oleh karena itu tidak mengherankan apabila ulama sekaliber Imam Syafi'i mengatakan:
ولم يزل سبيل سلفتا و القرون بعدهم إلي من شاهدناه هذه سبيل
Artinya: Dan  jalan para Ulama terdahulu kita [sahabat] dan generasi setelah mereka bahkan sampai para ulama yang kami jumpai senantiasa berada di atas jalan ini [menerima hadits ahad, pent.].[40]
Berkata Ibnu Hazm –rahimahullah-:
فإنّ جميع أهل الاسلام كانوا على قبول خبر الواحد الثقة عن النبي صلي الله عليه وسلم يجري على ذلك كل فرقة في عملها, كأهل السنة والخوارج والشيعة والقدرية حتى حدث متكلموا المعتزلة بعد المائة من التاريخ, فخلفوا الاجماع في ذلك
Artinya: Sesungguhnya seluruh kaum muslimin terdahulu menerima kabar dari satu orang yang tsiqoh [terpercaya] yang meriwayatkan hadits dari nabi –shallahu 'alaihi wasallam-, bahkan seluruh kelompok pun berpandangan sama [menerima kabar dari satu orang tsiqoh], seperti ahlus sunnah, al-Khawarij, Syi'ah dan Qodariyah sampai munculnya al-Mu'tazilah setelah seratus tahun kemudian, maka merekapun menyelisihi ijma' ini.[41]
Dan jika kita meneliti sumber dari syubhat tentang ditolaknya hadits ahad, maka akan kita temukan sebagai berikut:
1.      Bahwa syubhat ini ditebarkan ini oleh para ahlul bid'ah, ahlul kalam, orang yang lemah agama bahkan orang-orang zindik secara sembunyi-sembunyi, dan syubhat ini tidak mendapatkan tempat di hati kaum muslimin pada saat itu. Ditambah lagi, para ulama kita getol membantah syubahat tentang hadits ahad ini, contohnya seperti Imam Syafi'i, yang dengan tanpa ragu menguliti syubhat ini dalam buku beliau Jima'ul Ilmi.
2.      Hakikat dari pendapat ini adalah penolakan hadits-hadits Rasulullah karena pengkultusan mereka kepada akal, dan jika tilik mayoritas syubhat mereka memang berpijak kepada akal.[42]


Yang ketiga: menjawab Syubhat

Syubhat Pertama: Hadits Ahad hanya menghasilkan berita yang sifatnya dhanni [dugaan] saja.
 Bantahan:
v     Pandapat ini bersumber ahlul bid'ah, dan mereka berpecah menjadi dua:
A. Mu'tazilah, yang mengatakan bahwa Hadits Ahad sifatnya hanya dhanni saja, dan sesuatu yang dhanni tidak layak untuk diamalkan, makanya kelompok ini menolak hadits ahad baik dalam masalah aqidah maupun hukum syar'i.
B. Ahlul kalamnya Asya'irah, mereka berpendapat bahwa hadits ahad bersifat dhanni, sehingga hanya layak dijadikan hujjah pada masalah hukum saja dan tiak bias dijadikan hujjah dalam masalah aqidah.
v     Fakta menetapkan bahwa kebenaran suatu berita tidak dilihat dari banyaknya pemberi kabar, namun dari sisi kwalitas sang pembawa berita.
v     Perlu kita kaji makna kalimat dhanni [dugaan] tersebut, karena kalimat dhann yang banyak digunakan ulama fiqh adalah ad-Dhan ar-Rajih [dugaan yang kuat] yaitu lawan kata dari istilah al-Wahm [dugaan yang lemah], dan ad-Dhan menurut para ulama fiqh adalah sesuatu yang bisa dijadikan landasan hukum, dan bukan bermakna dugaan ataupun prasangka yang diharamkan oleh agama, sebagaimana sabda Nabi:
إياكم والظنّ فإنّ الظن أكذب الحديث
Artinya: Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta.
Dan mungkin perlu kami jelaskan pula bahwa diantara makna kalimat ad-Dhann juga adalah alyakin, sebagaimana firman Allah:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Artinya: yaitu orang yang yakin bahwa mereka akan berjumpa dengan Rabbnya dan mereka akan kembali kepadanya.[43]
v     Pijakan terkuat dari pendapat ini adalah akal, dan dalil-dalil syar'i menyelisihinya.

Syubhat kedua: Hadits Ahad hanya bisa dijadikan hujjah dalam masalah hukum fiqih dan bukan dalam masalah aqidah.

Bantahan:
v     Diperlukan dalil yang kuat untuk membedakan antara masalah aqidah dan hukum fiqih dalam menerima hadits ahad sebagai hujjah .
v     Telah tegak ijma' para ulama untuk menerima hadits ahad dari seorang perawi yang terpercaya dan jujur.
v     Telah sampai kepada kita secara mutawatir bahwa Nabi Muhammad mengutus para utusannya kepada setiap kabilah dan raja-raja sendiri-sendiri. Mengutus Mu'adz bin jabal ke yaman, mengutus Dihyah al-kalbi ke Heraklius, mengutus Abdullah bin Hudafah ke kisra raja Persia, mengutus Utsman bin Ash ke Thoif, mengutus Hathib bin Abi Balta'ah ke makaukus di mesir dan lain sebagainya, dan mereka diutus untuk mendakwahkan tauhid dan menegakkan hujjah atas mereka.
v     Pendapat ini adalah aqidah [pendapat bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan pijakan dalam masalah aqidah], maka kami meminta kepada para pengingkar hadits ahad –khususnya dalam masalah aqidah- untuk  mendatangkan dalil yang mutawatir dalam masalah ini.
v     Seandainya hadits ahad bukanlah dalil dalam masalah aqidah, maka pasti telah dijelaskan oleh Nabi dan para sahabat dengan gamblang, karena hal ini adalah masalah yang sangat krusial.

Syubhat Ketiga:  Telah sampai kepada kita sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi –shallahu 'alaihi wasallam- menolak kabar dari Dzul Yadain bahwa beliau telah shalat dua rakaat, sampai ada penguat dari Abu Bakar dan Umar bin Khatthab.

Bantahan:
v     Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- tawaqquf  [ragu] untuk menerima kabar dari Dzul Yadain karena Rasulullah yakin bahwa beliau telah shalat 4 rakaat, dan yang menghadiri shalat tersebut bukan hanya Dzul Yadain, namun dihadiri jumlah yang banyak dari para sahabat. Keraguan Rasulullah terhadap kabar Dzul Yadain dipicu oleh diamnya para sahabat yang lain bahkan termasuk Abu Bakar dan Umar, menurut Nabi –Shallallahu 'alaihi wa sallam- jika benar beliau hanya shalat dua rakaat, tentu yang lebih layak untuk mengajukan kabar tersebut adalah sahabat-sahabat yang terdekat beliau seperti Abu Bakar dan Umar, oleh karena itu beliau ragu untuk menerima kabar dari Dzul Yadain sampai mendapatkan penguat dari para sahabat yang lainnya. kesimpulannya, sikap Rasulullah tawaqquf untuk menerima kabar dari Dzul Yadain bukan karena karena kabar tersebut dibawa oleh satu orang [ahad], namun karena ada penghalang untuk menerima kabar tersebut yaitu diamnya sahabat yang lain –termasuk Abu Bakar Dan Umar-, padahal mereka semua juga menghadiri shalat tersebut.[44]
v     Telah sampai kepada kita riwayat yang sangat banyak bahwa Nabi Muhammad mengutus para utusannya kepada setiap kabilah dan raja-raja sendiri-sendiri. Mengutus Mu'adz bin jabal ke yaman, mengutus Dihyah al-kalbi ke Heraklius, mengutus Abdullah bin Hudafah ke kisra raja Persia, mengutus Utsman bin Ash ke Thoif, mengutus Hathib bin Abi Balta'ah ke makaukus di mesir dan lain sebagainya, dan mereka diutus untuk mengajarkan agama yang dibawa oleh Nabi baik itu dalam masalah aqidah, ibadah ataupun hukum-hukum dalam agama islam, fakta ini menyimpulkan untuk kita bahwa Nabi-pun mengajarkan kepada kita untuk menerima hadits ahad sepanjang tidak ada penghalang yang bisa menjadikan hadits tersebut tertolak.
v     Kita tidak bisa berpegang dengan satu dalil [Rasulullah ragu untuk menerima hadits ahad], lalu meninggalkan dalil-dalil yang menyelisihinya [Rasulullah mengutus para sahabat ke kabilah-kabilah dalam rangka berdakwah sendiri-sendiri], ironisnya apabila kemudian kita memaksa untuk membangun hukum diatasnya [menolak hadits ahad], padahal masih ada dalil-dalil yang menyelisihinya [dalil bahwa hadits ahad diterima], yang benar –bi idznillah- adalah kita berupaya untuk mengumpulkan seluruh dalil terkait satu masalah lalu berupaya untuk menarik kesimpulan berdasarkan dalil-dalil  tersebut, wallahu a'lam.

Syubhat Keempat: Telah sampai kepada kita riwayat yang valid, bahwa beberapa sahabat menolak kabar yang dibawa satu orang, seperti penolakan Abu Bakar terhadap hadits yang dibawa oleh al-Mughirah bin Syu'bah tentang bagian warisan untuk nenek sampai datang penguat dari sahabat Muhammad bin Maslamah, dan penolakan Umar terhadap hadits dari Abu Musa al-Asy'ari tentang adab meminta ijin sampai datang penguat dari sahabat Abu Sa'id al-Khudri dan lain sebagainya.

Bantahan:
v     Riwayat-riwayat yang disebutkan oleh para pengingkar hadits ahad diatas justru adalah dalil diterimanya hadits ahad, dan menunjukkan kehujjahannya, karena sesungguhnya kabar dari dua orang masih masuk dalam kategori hadits ahad, dan bukan tergolong hadits mutawatir.
v     Penolakan yang dilakukan beberapa sahabat diatas terhadap hadits yang dibawa oleh satu orang, bukan disebabkan karena dibawa oleh satu orang, namun lebih disebabkan karena adanya penghalang atau cacatnya syarat, makanya ketika mereka mendapat penguat dari sahabat yang lain tentang hadits tersebut merekapun menerimanya, meskipun hadits tersebut belum keluar dari kategori hadits ahad.
v   Telah sampai pula riwayat yang banyak bahwa para sahabat menerima hadits nabi yang diriwayatkan oleh satu orang sahabat, contohnya: Umar bin Khatthoob menerima hadits dari Abdurrahman bin 'Auf tentang mengambil jizyah [upeti] dari orang Majusi, Dan beliau juga [Umar] menerima hadits dari Haml bin Malik tentang diyah [denda] membunuh janin, yaitu dengan memerdekakan budak baik laki-laki ataupun wanita[45], beliau juga menerima hadits dari Abdurrahman bin Auf dalam masalah penyakit Tha'un[46], dan beliau juga menerima hadits dari Sa'ad bin Abi Waqqash dalam masalah al-Mashu 'alal Khuffain [mengusap sepatu][47], Zaid bin Tsabit menerima hadits dari seorang sahabat wanita bahwa wanita haidh yang berhaji boleh meninggalkan mekah tanpa thawaf wada'[48], bahkan para sahabat menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq bahwa para Nabi tidak meninggalkan warisan untuk keluarga mereka, Para sahabat juga menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq tentang tempat dikuburnya Nabi, para sahabat juga mengamalkan hadits dari Aisyah tentang wajibnya mandi besar jika bertemu dua yang dikhitan [kelamin laki-laki dan kelamin wanita] meskipun belum ejakulasi.
v   Beberapa sahabat menjelaskan tentang penyebab tawaqquf mereka terhadap hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, contohnya Umar bin Khotthoob, beliau mengatakan kepada Abu Musa al-Asy'arii:
 إني لا أتّهمك, ولكنّي خشيت أن يتقوّل الناس على رسول الله
Artinya: Sesungguhnya saya tidak menuduhmu [berdusta], namun saya khawatir manusia akan berdusta atas Nabi Muhammad.[49]
Perkataan ini adalah hakim bagi para pengingkar hadits ahad, dengan tidak bertele-tele Umar mengatakan bahwa penyebab dari tawaqqufnya beliau terhadap hadits yang dibawa oleh Abu Musa al-Asy'arii disebabkan pembinaan yang beliau tanamkan kepada umat untuk berhati-hati dalam berinteraksi dengan hadits-hadits Nabi, oleh karena itu para ulama hadits berkesimpulan bahwa sikap sahabat Abu Bakar dan Umar serta sahabat-sahabat yang lainnya berupa tawaqquf  mereka terhadap hadits yang dibawa oleh satu orang –dalam beberapa moment- merupakan pondasi bagi ilmu sanad.
            Ikhwah yang dirahmati Allah, inilah makalah sederhana tentang polemik hadits ahad,  yang senantiasa diperdebatkan dari masa ke masa, dan tentunya manhaj para ulama salaf kita tentang masalah ini –dan juga masalah yang lainnya- lebih benar dan lebih selamat, semoga tulisan singkat ini bisa menjadi benteng dari syubhat-syubhat yang bertebaran - wallalhu waliyu dzalika wal qodiru alaih-.
وصلي الله علي نبينا محمد وعلي آله وأصحابه ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين


   








[1] . Metode pengambilan dalil
[2] . Mujmal Ushulul Ahlus Sunnah Wal Jamaah fil I'tiqad
[3] . Mukhtashar Syu'abul Iman karya al-Qazwini hal 30
[4] . al-Kifayah Fi Ilmir Riwayah karya Khathib al-Baghdadi 1/27
[5] . al-Kifayah Fi Ilmir Riwayah karya Khathib al-Baghdadi 1/29
[6] . al-Hasyr 7
[7] . an-Nisa' 80
[8] . an-Nisa' 59
[9] . I'lamul Muwaqqi'in 2/282
[10] . Lihat al-Hadits ad-Dha'if wal Hukmu al-Ihtijaji bihi karya Abdul Karim Khudhair hal 26.
[11] . HR. Bukhari, Muslim dan yang lainnya.
[12] . al-Kifayah fi Ilmir Riwayah karya Khathib al-Baghdadi  hal 31.
[13] . Lihat Hadits Dhaif wal hukmu Ihtijaji Bihi karya Syaikh Abdul Karim Khudhair  37
[14] . Bukhari dan Muslim.
[15].Hadits Dhaif wal hukmu Ihtijaji Bihi karya Syaikh Abdul Karim Khudhair 35
[16]. Bukhari dan Muslim
[17] . Syarhu Nukhbatul Fikri karya Ibnu Hajar  hal. 11
[18] . Bukhari dan Muslim
[19] . Syarat-syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad setiap rawi, rawinya 'adil [baik agamanya] dan dhaabith [baik hafalannya], tidak ada cacat yang tersembunyi dan tidak  menyelisihi hadits  lain yang lebih shohih.
[20] . Surat at-Taubah 122
[21] . Hal ini sebagaimana yang ditaqrir oleh Imam Bukhari dalam shahih Bukharinya, Ibnu Hajar al-'Asqolani dalam Fathul Barinya, dan merupakan perkataan dari Ibnu 'Abbas, an-Nakha'ii, Mujahid dan yang lainnya. Lihat Khabarul Ahad wa Hujjiyatuhu hal 153.
[22] . Surat al-Baqarah ayat 159
[23] . Surat al-Hujurat ayat 6
[24] . Surat an-Nahl ayat 43
[25] . Surat al-Isra' 36
[26] . Ushulus  Sarakhsi 1/329
[27] . Tirmidzi
[28] . Bukhari, Muslim dan yang lainnya
[29] . Lihat Mukhtashor Ibnu Hajib 2/58, lihat pula Nihayatul Saul Fi Ushulul Fiqh karya Abu Ya'la 129
[30] . Shahih Muslim 1/10
[31] . lihat al-Muwattha' 1/335, Ibnu Majah 2/84
[32] . lihat ar-Risalah 186, sunan ad-Daruquthnii 2/154, al-Muwattha' 1/207
[33] . Shahih al-Bukhari 9/14
[34] . lihat Shahih al-Bukhari 7/169
[35] . lihat Shahih Muslim 1/156
[36] . lihat ar-Risalah karya imam Syafi'i 190, shahih Bukhari1/86
[37] . Shahih al-Bukhari 8/185-186
[38] . lihat Sunan Ibnu Majah 1/255
[39] . lihat Shahih Muslim 1/187, dan al-Muwatha' 1/46
[40] . ar-Risalah 194
[41] . silahkan lihat al-Ihkam karya Ibnu Hazm 1-4/103
[42] . Lihat Tadwinus Sunnah an-Nabawiyah karya Dr Mathar az-Zahrani  hal 49-50
[43] . al-Baqarah 46
[44] . lihat al-Ihkam karya al-Amidi 2/62
[45] . Shahih al-Bukhari 9/14
[46] . lihat Shahih al-Bukhari 7/169
[47] . lihat Shahih Muslim 1/156
[48] . lihat ar-Risalah karya imam Syafi'i 190, shahih Bukhari1/86