Membahas Tentang Polemik Hadits Ahad
Oleh: Abu Shafa Luqmanul Hakim
Muqaddimah
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام علي رسوله الأمين وعلي آله وأصحابه الطاهرين ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين, أما بعد :
Ikhwah yang dirahmati Allah, salah satu karakteristik ahlus sunnah wal jamaah dalam manhajul istidlal adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Nashir bin Abdul Karim al-Aql dalam sebuah risalahnya:
كل ما صحّ من سنة رسول الله وجب قبوله والعمل به، وإن كان آحاداً في العقائد وغيرها
Artinya:
Seluruh yang shahih dari hadits Rasulullah wajib untuk diterima dan
diamalkan baik yang berkaitan dengan aqidah ataupun selainnya, meski
hadits tersebut ahad.
Hal ini merupakan bukti nyata dari ketaatan yang sempurna kepada Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam-, dan sebagai aplikasi ungkapan cinta kita yang murni kepada beliau, yang tentunya merupakan implementasi nyata bagi syahadat yang senantiasa terlafadz dalam lisan basah kita "Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah".
Sebuah bait Syair dengan sangat fashih terlantunkan:
لو كان حبّك صادقا لأطعته فإن المحبّ لمن يحبّ مطيع
Artinya: Seandainya cintamu sejati niscaya engkau akan mematuhinya, sesungguh sang pecinta akan patuh kepada yang dicintai.
Kendati pemaparan tentang manhajul istidlal yang
benar menurut manhaj ahlus sunnah -terkhusus berkaitan dengan
hadits-hadits Nabi- sarat menghiasi kitab para ulama kita dari masa ke
masa, namun sangat disayangkan, ternyata sangat banyak dari kalangan
kaum muslimin yang buta tentang hal ini, sehingga mereka mudah
terperangkap ke dalam jaring-jaring iblis dalam masalah ini, maka
ditolaklah sunnah-sunnah Nabi dan dikritiklah hadits-hadits yang tidak
singkron dengan logika mereka [menurut sangkaan mereka]. Jika kita tilik
secara umum, maka para pengingkar hadits bisa dibagi menjadi dua
fraksi:
Yang pertama: Golongan
yang mengingkari seluruh hadits Rasulullah, menolak untuk berhujjah
dengan sunnah bahkan melecehkannya, merasa cukup dengan al-Qur-an
sebagai satu-satunya referensi otentik, dan biasanya mereka masyhur
dengan julukan Qur-aniyyun atau Inkarus Sunnah
Untuk kelompok ini, alangkah indahnya jika kita hadiahkan sebuah atsar dari tabi'in yang mulia Hasan al-Bashrii –rahimahullah-:
أن
عمران بن حصين ، كان جالسا ومعه أصحابه, فقال رجل من القوم : لا تحدثونا
إلا بالقرآن ، قال : فقال له : ادنه، فدنا، فقال : « أرأيت لو وكلت أنت
وأصحابك إلى القرآن أكنت تجد فيه صلاة الظهر أربعا وصلاة العصر أربعا
والمغرب ثلاثا ، تقرأ في اثنتين ، أرأيت لو وكلت أنت وأصحابك إلى القرآن
أكنت تجد الطواف بالبيت سبعا والطواف بالصفا والمروة ، ثم قال : أي قوم
خذوا عنا فإنكم ، والله إلا تفعلوا لتضلنّ
Artinya:
Bahwa Imran bin Hushain bekumpul dengan para sahabatnya, lalu seseorang
mengatakan kepada beliau: jangan engkau ajarkan sesuatu kepada kami
kecuali al-Qur-an saja!!, maka beliaupun memanggilnya kemudian berkata:
tahukah engkau, seandainya engkau hanya belajar dari al-Qur-an saja,
apakah engkau akan mengetahui bahwa shalat dhuhur empat rakaat, shalat
ashar empat rakaat dan shalat maghrib tiga rakaat dengan membaca ayat
alqur-an di dua rakaat pertama???, tahukah engkau, jika seandainya
engkau hanya mengambil al-Qur-an saja sebagai dalil, apakah engkau akan
mengetahui bahwa jumlah thawaf di Ka'bah tujuh kali, dan jumlah Sa'i
juga tujuh kali???, kemudian beliau mengatakan: wahai kaum, Belajarlah
dari kami!! Jika tidak, maka niscaya kalian akan tersesat.
Duhai, sebuah hujjah kokoh keluar dari lisan yang sarat ilmu seorang
sahabat yang mulia Imran bin Hushain, mematahkan syubhat lemah dari
seseorang yang terkungkung nafsu, sekaligus mengukuhkan sebuah paradigma
bahwa al-Qur-an dan sunnah bak dua mata uang yang tidak bisa
dipisahkan. Dan dengarkan pula perkataan dari seorang ulama rabbani Ayub
as-Sakhtiyani –rahimahullah- agar kemudian kita menjauhi pemikiran sesat ini:
إذا حدثت الرجل بالسنة فقال : دعنا من هذا وحدثنا من القرآن ، فاعلم أنه ضالّ مضلّ
Artinya:
jika engkau mengabari seseorang dengan hadits, kemudian dia mengatakan:
jauhkanlah kami dari hadits dan bicaralah engkau dari al-Qur-an saja!!,
ketahuilah bahwa orang tersebut sesat dan menyesatkan.
Duhai, seandainya mereka –para Ingkarus Sunnah- menyadari bahwa pengingkaran terhadap sunnah Nabi –shallallahu 'alaihi wasallam-
pada hakikatnya adalah perpanjangan dari pengingkaran terhadap
al-Qur'an, pasalnya kitab suci tersebut sarat dengan perintah untuk
mencintai, mengagungkan dan memuliakan serta mengikuti sunnah Nabi
Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam-, beberapa contoh dari ayat tersebut:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya: Dan apa yang diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah, dan apa yang dilarang oleh beliau maka tinggalkanlah.
من يطع الرسول فقد أطاع الله
Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah.
ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan taatilah para pemimpin kalian.
Oleh karena itu, tidaklah mengheran jika al-Imam Syafi'i –rahimahullah- menukil ijma' umat untuk mengagungkan sunnah Nabi kita yang tercinta, beliau mengatakan:
أجمع المسلمون على أن من استبانت له سنة رسول الله لم يكن له أن يدعه لقول أحد من الناس
Artinya:
Telah tegak ijma' kaum muslimin bahwa barang siapa yang telah jelas
baginya sunnah Nabi, maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah
tersebut karena [mengikuti, pent.] perkataan salah seorang manusia
[ulama].
Kedua: Golongan
yang menolak hadits ahad, baik memungkirinya secara mutlak dalam
masalah aqidah dan hukum-hukum fiqh, ataupun meninggalkannya dalam
masalah aqidah saja. Kelompok
inilah yang akan kita bahas dalam risalah kecil ini, semoga Allah
mencurahkan taufiqnya kepada kami sehingga bisa membahas masalah ini
dengan sebaik mungkin.
Dan untuk memudahkan pemaparan maka kami akan bagi pembahasan ini dalam beberapa point, Yang Pertama: Definisi Hadits Ahad, Yang Kedua: Dalil Tentang Kehujjahan Hadits Ahad, Ketiga: Menjawab Syubhat.
Inilah poin-poin yang akan kami bahas, semoga Allah menjadikan makalah
yang sederhana ini bermanfaat bagi kami dan bagi seluruh kaum muslimin.
Yang Pertama: Definisi Hadits Ahad
Jika
kita ingin mengetahui definisi Hadits Ahad, maka akan lebih mudah jika
kita mengenal definisi Hadits Mutawatir terlebih dahulu, karena hadits
ahad merupakan antonim dari hadits mutawatir. Hadits mutawatir adalah
hadits yang diriwayatkan rawi yang banyak dalam setiap tingkatan rawi,
sehingga mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam kedustaan, dan
sumber pengambilan beritanya adalah panca indera dan bukan dugaan
belaka.
Ikhwah yang dirahmati Allah, jika kita perhatikan definisi Hadits
Mutawatir di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa syarat dari hadits
mutawatir ada 4:
1. Jumlah perawinya banyak, sehingga mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam dusta.
- Sumber haditsnya bukan dari dugaan belaka.
- Sumber periwayatannya adalah panca indera, contohnya: saya mendengar atau saya melihat.
- Semua syarat ini terpenuhi dalam setiap tingkatan sanad.
Contoh hadits mutawatir adalah sabda Nabi Muhammad:
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya: Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.
Inilah pemaparan yang sangat ringkas tentang definisi hadits mutawatir,
nah..apabila kita telah memahami definisi dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk sebuah hadits mutawatir, maka akan mudah bagi kita untuk
mengetahui tentang hakikat hadits ahad. Definisi yang dari ulama
terkait Hadits Ahad sangatlah beragam, namun perbedaan definisi para
ulama kita dalam masalah ini -pada umumnya- adalah perbedaan dalam
konteks redaksi saja, adapun subtansinya maka berujung pada makna yang
serupa, definisi inti dari Hadits Ahad adalah :
ما قصر عن صفة التواتر ، ولم يقع به العلم وإن روته الجماعة
Artinya:
Hadits yang tidak sampai pada derajat mutawatir, dan belum memberikan
faidah ilmu [yakin], meski diriwayatkan oleh jumlah yang banyak [selama
tidak sampai pada derajat mutawatir].
Hadits ahad terbagi menjadi 3 bagian:
1. Hadits Gharib
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.
Contohnya:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya:
Sesungguhnya amalan tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap
manusia akan mendapatkan pahala selaras dengan niatnya.
2. Hadits 'Aziz
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi dalam setiap tingkatan sanadnya.
Contohnya:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Artinya: Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga mencintai aku melebihi cintanya atas bapaknya dan anaknya.
3. Hadits Masyhur
Adalah
hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau bahkan lebih dalam
setiap tingkatan sanad, selama belum sampai pada derajat mutawatir.
Contoh:
إِنَّ
اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ
الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambanya, akan tetapi mencabut ilmu dengan wafatnya ulama.
Inilah sedikit penjelasan tentang hadits ahad beserta pembagiannya,
kesimpulannya adalah hadits ahad merupakan hadits yang belum mencapai
derajat mutawatir meski diriwayatkan oleh beberapa rawi dalam setiap
tingkatan sanadnya.
Yang Kedua: Dalil Tentang Hujjahnya Hadits Ahad
Ikhwah yang dirahmati oleh Allah, para ulama ahlus sunnah berpendapat
bahwa jika hadits ahad telah memenuhi syarat hadits shahih
maka bisa dijadikan sebagai hujjah baik dalam masalah aqidah ataupun
dalam masalah hukum syar'i, dalil-dalil dari pendapat ini adalah:
v Dalil Dari Ayat al-Qur-an
1. Firman Allah:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.
Artinya:
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi berperang semuanya,
mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka pergi untuk
menuntut ilmu, agar kemudian memberi peringatan kepada kaumnya jika
mereka telah kembali dari medan perang agar mereka dapat berhati-hati.
Perhatikan kalimat "tho-ifah"
dalam ayat diatas [yang kami garis bawahi], telah terjadi kesepakatan
di kalangan para ahli bahasa bahwa kalimat tersebut dapat digunakan
untuk satu orang atau lebih. Olehnya ayat diatas mereka dalil bagi para ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad bisa diterima dan diamalkan, ayat
di atas memberi perintah kepada kaum muslimin untuk mengutus seseorang
ataupun lebih dalam rangka untuk menuntut ilmu agama, agar kemudian
orang yang diutus tersebut bisa mengajarkan dan menyampaikan ilmunya
jika telah kembali dari tempat menuntut ilmu.
2. Firman Allah:
إِنَّ
الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى
مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ
يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Artinya:
Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah yang kami
turunkan berupa keterangan dan petunjuk, setelah kami menerangkannya
kepada manusia dalam kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat
seluruh makhluk yang melaknat.
Ayat di atas memerintahkan kita untuk menjelaskan dan menyampaikan ilmu, dan melarang untuk menyembunyikannya. Perintah dan larangan ini berlaku untuk setiap individu muslim bukan hanya kepada jamaah atau jumlah-jumlah tertentu,
dan perlu diketahui bahwa meriwayatkan hadits adalah bentuk dari bayan
[penjelasan], Nah.. jika memang hadits ahad ditolak maka tentu ayat di
atas adalah perintah yang sia-sia, Allahu musta'an.
3. Firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya:
Wahai orang-orang yan beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
berita, maka klarifikasilah berita tersebut dengan teliti, agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah atas suatu kaum karena kebodohanmu, yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan tersebut.
Ayat ini merupakan salah satu rambu dalam masalah pemberitaan, dengan
sangat gamblang dipaparkan dalam ayat di atas, bahwa kabar orang
fasik [yang memiliki cacat dari sisi agama] harus diklarifikasi dahulu
agar kemudian bisa mengambil sikap yang benar terhadap berita tersebut,
dan secara tersirat ayat di atas merupakan isyarat bahwa jika yang
datang membawa berita adalah orang yang berkualifikasi 'adil [baik
agamanya] dan dhabith [baik hafalannya] maka berita yang dibawa bisa
dipercaya.
4. Firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Ayat
ini memerintahkan kepada kita untuk bertanya kepada orang yang memiliki
ilmu [ulama] jika tidak mengetahui tentang sesuatu, dan apabila kita
bertanya hanya kepada satu orang ulama saja, maka kita telah mengamalkan
ayat di atas, sebab ayat di atas tidak menentukan jumlah tertentu agar
jawabannya menjadi mutawatir, sehingga kita boleh mengamalkan jawaban
dari ulama tersebut. Bahkan ayat di atas justru merupakan dalil bagi
diterimanya hadits ahad.
5. Firman Allah:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
Artinya: Dan janganlah kamu mengerjakan apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya.
Imam
Sarakhsi –rahimahullah- berkata: sesungguhnya mengamalkan hadits ahad
adalah wajib, dan tidak wajib beramal kecuali dengan pijakan ilmu, Allah
berfirman: "Dan janganlah kamu mengerjakan apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya", dan berfirman berkaitan dengan berita yang dibawa oleh orang fasik:" agar kamu tidak menimpakan suatu musibah atas suatu kaum karena kebodohanmu". Dan lawan kata kebodohan adalah ilmu, sedangkan lawan kata kalimat Fasik adalah 'adalah [sifat adil].
v Dalil Dari Hadits Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wa sallam-.
1. Sabda Nabi:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِى فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا
Artinya:
Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah orang yang mendengarkan
perkataanku lalu dia memahaminya dan menghafalnya lalu menyampaikanya
kepada orang lain.
Hadits
ini adalah hadits mutawatir, yang menjelaskan kepada kita tentang
untaian doa dari Nabi kita yang tercinta, bagi orang-orang memiliki
sifat di atas, mendengarkan perkataan Nabi yang mulia, lalu berupaya
untuk memahaminya dan menghafalnya, kemudian menyampaikan hadits
tersebut kepada yang lain. Jika kita menelaah hadits di atas maka
niscaya kita akan dapatkan bahwa hadits tersebut tidak mempersoalkan
jumlah sang perawi, akan tetapi yang justru dipaparkan adalah kualitas
sang perawi.
2. Sabda Nabi kepada Mu'adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman:
إِنَّكَ
سَتَأْتِى قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى
أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ
Artinya:
Wahai Mu'adz, sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, jika
kamu telah berjumpa dengan mereka hendaknya yang dakwahkan dahulu adalah
mengucapkan kalimat tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Ikhwah
yang dirahmati Allah, hadits ini merupakan hakim pemutus kontraversi
tentang hadits ahad, yang mana Nabi mengutus para sahabat
sendiri-sendiri dalam rangka untuk mendakwahkan tauhid ke setiap kabilah
bangsa arab maupun ke yang lainnya. Ini tentu menegaskan bahwa yang
menjadi barometer dalam kesahihan sebuah hadits bukanlah jumlah
rawinya, akan tetapi kwalitas dari para perawi dari hadits tersebut, dan
masih banyak hadits yang serupa diantaranya pengutusan Abu 'Ubaidah
al-jarrah ke Yaman, pengutusan Mush'ab bin 'Umair ke Madinah,
pengutusan Dihyah al-Kalbi ke raja Heraklius penguasa Romawi, perintah
Nabi ke utusan 'Abdul Qais dan lain sebagainya.
v Dalil dari Ijma'
Telah tegak ijma' dari kalangan sahabat dan tabi'in tentang kehujjahan hadits ahad,
dan tidak ada satupun dari mereka yang membedakan antara masalah aqidah
dan masalah hukum-hukum fiqih, bahkan pada saat itu belumlah masyhur
pembagian hadits kepada Mutawatir dan ahad. Beberapa indikasi tegaknya
ijma' di kalangan para sahabat dan tabi'in adalah:
1. Pengutusan
Rasulullah kepada setiap kabilah bangsa arab dan yang selainnya, yang
mana Nabi hanya mengutus satu orang sahabat kepada kabilah tersebut demi
untuk mendakwahkan tauhid, dan hal itu tidak diingingkari oleh para
sahabat ataupun kabilah yang menjadi objek dakwah.
2. Sebagian
para sahabat meriwayatkan hadits dari sahabat yang lainnya, dan tidak
ada pengingkaran dari Nabi ataupun dari kalangan ulama yang hidup pada
jaman tersebut, diantara contoh dari fenomena ini adalah Abu Ayub
al-Anshari meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah. dan simaklah perkataan
sahabat Abdullah bin Abbas berikut ini:
جَاءَ
بُشَيْرٌ الْعَدَوِىُّ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَجَعَلَ يُحَدِّثُ وَيَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- فَجَعَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ لاَ يَأْذَنُ لِحَدِيثِهِ وَلاَ
يَنْظُرُ إِلَيْهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ مَا لِى لاَ أَرَاكَ
تَسْمَعُ لِحَدِيثِى أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- وَلاَ تَسْمَعُ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّا كُنَّا مَرَّةً إِذَا
سَمِعْنَا رَجُلاً يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
ابْتَدَرَتْهُ أَبْصَارُنَا وَأَصْغَيْنَا إِلَيْهِ بِآذَانِنَا فَلَمَّا
رَكِبَ النَّاسُ الصَّعْبَ وَالذَّلُولَ لَمْ نَأْخُذْ مِنَ النَّاسِ
إِلاَّ مَا نَعْرِفُ.
Artinya:
Busyair al-Adawi menghadap Abdullah bin Abbas dan kemudian dia mulai
membacakan hadits dari Rasulullah, dan Abdullah bin Abbas tidak menyimak
hadits tersebut dan tidak melihat kepadanya, maka dia mengatakan wahai
Ibnu Abbas:"kenapa kamu tidak menyimak hadits-haditsku dari
Rasulullah??", maka berkata Ibnu Abbas sesungguhnya kami dahulu jika
mendengar seseorang membacakan hadits dari Rasulullah maka mata kami
berlinang air mata, dan kami menyimaknya dengan sungguh-sungguh, namun
ketika manusia sudah banyak berdusta maka kami tidak mendengarkan
kecuali dari orang yang kami kenal.
3. Banyaknya fenomena para sahabat Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- yang menerima hadits ahad dari sahabat yang lain, diantara contoh dari fenomena ini adalah Abu
Bakar as-Shiddiq menerima dan mengamalkan hadits dari al-Mughirah bin
Syu'bah dan Muhammad bin Maslamah dalam masalah bagian nenek dalam
warisan yaitu seper-enam,
Umar bin Khatthoob menerima hadits dari Abdurrahman bin 'Auf tentang
mengambil jizyah [upeti] dari orang Majusi, karena Rasulullah bersabda:
سنوا بهم سنة أهل الكتاب
Artinya: Perlakukan mereka [orang majusi] seperti ahlul kitab.
Dan
beliau juga [Umar] menerima hadits dari Haml bin Malik tentang diyah
[denda] membunuh janin, yaitu dengan memerdekakan budak baik laki-laki
ataupun wanita, beliau juga menerima hadits dari Abdurrahman bin Auf dalam masalah penyakit Tha'un, dan beliau juga menerima hadits dari Sa'ad bin Abi Waqqash dalam masalah al-Mashu 'alal Khuffain [mengusap sepatu],
Zaid bin Tsabit menerima hadits dari seorang sahabat wanita bahwa
wanita haidh yang berhaji boleh meninggalkan mekah tanpa thawaf wada',
bahkan para sahabat menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq bahwa
para Nabi tidak meninggalkan warisan untuk keluarga mereka:
إنّا معشر الأنبياء لا نورث ما تركناه صدقة
Artinya: Kami para Nabi tidak membagikan warisan [kepada keluarga mereka], harta warisan yang kami tinggalkan adalah sedekah.
Para sahabat juga menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq tentang tempat dikuburnya Nabi:
الأنبياء يدفنون حيث ماتوا
Artinya: Para Nabi dikuburkan di mana saja mereka wafat.
Dan
para sahabat juga mengamalkan hadits dari Aisyah tentang wajibnya mandi
besar jika bertemu dua yang dikhitan [kelamin laki-laki dan kelamin
wanita] meskipun belum ejakulasi.
Inilah
fakta sejarah yang terpahat dalam kitab para ulama kita yang
menjelaskan tegaknya ijma' para sahabat untuk menerima hadits ahad dalam
masalah apapun juga, oleh karena itu tidak mengherankan apabila ulama
sekaliber Imam Syafi'i mengatakan:
ولم يزل سبيل سلفتا و القرون بعدهم إلي من شاهدناه هذه سبيل
Artinya:
Dan jalan para Ulama terdahulu kita [sahabat] dan generasi setelah
mereka bahkan sampai para ulama yang kami jumpai senantiasa berada di
atas jalan ini [menerima hadits ahad, pent.].
Berkata Ibnu Hazm –rahimahullah-:
فإنّ
جميع أهل الاسلام كانوا على قبول خبر الواحد الثقة عن النبي صلي الله عليه
وسلم يجري على ذلك كل فرقة في عملها, كأهل السنة والخوارج والشيعة
والقدرية حتى حدث متكلموا المعتزلة بعد المائة من التاريخ, فخلفوا الاجماع
في ذلك
Artinya:
Sesungguhnya seluruh kaum muslimin terdahulu menerima kabar dari satu
orang yang tsiqoh [terpercaya] yang meriwayatkan hadits dari nabi
–shallahu 'alaihi wasallam-, bahkan seluruh kelompok pun berpandangan
sama [menerima kabar dari satu orang tsiqoh], seperti ahlus sunnah,
al-Khawarij, Syi'ah dan Qodariyah sampai munculnya al-Mu'tazilah setelah
seratus tahun kemudian, maka merekapun menyelisihi ijma' ini.
Dan jika kita meneliti sumber dari syubhat tentang ditolaknya hadits ahad, maka akan kita temukan sebagai berikut:
1. Bahwa
syubhat ini ditebarkan ini oleh para ahlul bid'ah, ahlul kalam, orang
yang lemah agama bahkan orang-orang zindik secara sembunyi-sembunyi, dan
syubhat ini tidak mendapatkan tempat di hati kaum muslimin pada saat
itu. Ditambah lagi, para ulama kita getol membantah syubahat tentang
hadits ahad ini, contohnya seperti Imam Syafi'i, yang dengan tanpa ragu
menguliti syubhat ini dalam buku beliau Jima'ul Ilmi.
2. Hakikat
dari pendapat ini adalah penolakan hadits-hadits Rasulullah karena
pengkultusan mereka kepada akal, dan jika tilik mayoritas syubhat mereka
memang berpijak kepada akal.
Yang ketiga: menjawab Syubhat
Syubhat Pertama: Hadits Ahad hanya menghasilkan berita yang sifatnya dhanni [dugaan] saja.
Bantahan:
v Pandapat ini bersumber ahlul bid'ah, dan mereka berpecah menjadi dua:
A.
Mu'tazilah, yang mengatakan bahwa Hadits Ahad sifatnya hanya dhanni
saja, dan sesuatu yang dhanni tidak layak untuk diamalkan, makanya
kelompok ini menolak hadits ahad baik dalam masalah aqidah maupun hukum
syar'i.
B.
Ahlul kalamnya Asya'irah, mereka berpendapat bahwa hadits ahad bersifat
dhanni, sehingga hanya layak dijadikan hujjah pada masalah hukum saja
dan tiak bias dijadikan hujjah dalam masalah aqidah.
v Fakta
menetapkan bahwa kebenaran suatu berita tidak dilihat dari banyaknya
pemberi kabar, namun dari sisi kwalitas sang pembawa berita.
v Perlu kita kaji makna kalimat dhanni [dugaan] tersebut, karena kalimat dhann yang banyak digunakan ulama fiqh adalah ad-Dhan ar-Rajih [dugaan yang kuat] yaitu lawan kata dari istilah al-Wahm [dugaan yang lemah],
dan ad-Dhan menurut para ulama fiqh adalah sesuatu yang bisa dijadikan
landasan hukum, dan bukan bermakna dugaan ataupun prasangka yang
diharamkan oleh agama, sebagaimana sabda Nabi:
إياكم والظنّ فإنّ الظن أكذب الحديث
Artinya: Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta.
Dan mungkin perlu kami jelaskan pula bahwa diantara makna kalimat ad-Dhann juga adalah alyakin, sebagaimana firman Allah:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Artinya: yaitu orang yang yakin bahwa mereka akan berjumpa dengan Rabbnya dan mereka akan kembali kepadanya.
v Pijakan terkuat dari pendapat ini adalah akal, dan dalil-dalil syar'i menyelisihinya.
Syubhat kedua: Hadits Ahad hanya bisa dijadikan hujjah dalam masalah hukum fiqih dan bukan dalam masalah aqidah.
Bantahan:
v Diperlukan dalil yang kuat untuk membedakan antara masalah aqidah dan hukum fiqih dalam menerima hadits ahad sebagai hujjah .
v Telah tegak ijma' para ulama untuk menerima hadits ahad dari seorang perawi yang terpercaya dan jujur.
v Telah
sampai kepada kita secara mutawatir bahwa Nabi Muhammad mengutus para
utusannya kepada setiap kabilah dan raja-raja sendiri-sendiri. Mengutus
Mu'adz bin jabal ke yaman, mengutus Dihyah al-kalbi ke Heraklius,
mengutus Abdullah bin Hudafah ke kisra raja Persia, mengutus Utsman bin
Ash ke Thoif, mengutus Hathib bin Abi Balta'ah ke makaukus di mesir dan
lain sebagainya, dan mereka diutus untuk mendakwahkan tauhid dan
menegakkan hujjah atas mereka.
v Pendapat
ini adalah aqidah [pendapat bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan
pijakan dalam masalah aqidah], maka kami meminta kepada para pengingkar
hadits ahad –khususnya dalam masalah aqidah- untuk mendatangkan dalil
yang mutawatir dalam masalah ini.
v Seandainya
hadits ahad bukanlah dalil dalam masalah aqidah, maka pasti telah
dijelaskan oleh Nabi dan para sahabat dengan gamblang, karena hal ini
adalah masalah yang sangat krusial.
Syubhat Ketiga: Telah sampai kepada kita sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi –shallahu 'alaihi wasallam- menolak kabar dari Dzul Yadain bahwa beliau telah shalat dua rakaat, sampai ada penguat dari Abu Bakar dan Umar bin Khatthab.
Bantahan:
v Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- tawaqquf
[ragu] untuk menerima kabar dari Dzul Yadain karena Rasulullah yakin
bahwa beliau telah shalat 4 rakaat, dan yang menghadiri shalat tersebut
bukan hanya Dzul Yadain, namun dihadiri jumlah yang banyak dari para
sahabat. Keraguan Rasulullah terhadap kabar Dzul Yadain dipicu oleh
diamnya para sahabat yang lain bahkan termasuk Abu Bakar dan Umar,
menurut Nabi –Shallallahu 'alaihi wa sallam- jika benar beliau
hanya shalat dua rakaat, tentu yang lebih layak untuk mengajukan kabar
tersebut adalah sahabat-sahabat yang terdekat beliau seperti Abu Bakar
dan Umar, oleh karena itu beliau ragu untuk menerima kabar dari Dzul Yadain sampai mendapatkan penguat dari para sahabat yang lainnya. kesimpulannya, sikap Rasulullah tawaqquf untuk menerima kabar dari Dzul
Yadain bukan karena karena kabar tersebut dibawa oleh satu orang
[ahad], namun karena ada penghalang untuk menerima kabar tersebut yaitu
diamnya sahabat yang lain –termasuk Abu Bakar Dan Umar-, padahal mereka semua juga menghadiri shalat tersebut.
v Telah
sampai kepada kita riwayat yang sangat banyak bahwa Nabi Muhammad
mengutus para utusannya kepada setiap kabilah dan raja-raja
sendiri-sendiri. Mengutus Mu'adz bin jabal ke yaman, mengutus Dihyah
al-kalbi ke Heraklius, mengutus Abdullah bin Hudafah ke kisra raja
Persia, mengutus Utsman bin Ash ke Thoif, mengutus Hathib bin Abi
Balta'ah ke makaukus di mesir dan lain sebagainya, dan mereka diutus
untuk mengajarkan agama yang dibawa oleh Nabi baik itu dalam masalah
aqidah, ibadah ataupun hukum-hukum dalam agama islam, fakta ini
menyimpulkan untuk kita bahwa Nabi-pun mengajarkan kepada kita untuk
menerima hadits ahad sepanjang tidak ada penghalang yang bisa menjadikan
hadits tersebut tertolak.
v Kita
tidak bisa berpegang dengan satu dalil [Rasulullah ragu untuk menerima
hadits ahad], lalu meninggalkan dalil-dalil yang menyelisihinya
[Rasulullah mengutus para sahabat ke kabilah-kabilah dalam rangka
berdakwah sendiri-sendiri], ironisnya apabila kemudian kita memaksa
untuk membangun hukum diatasnya [menolak hadits ahad], padahal masih ada
dalil-dalil yang menyelisihinya [dalil bahwa hadits ahad diterima],
yang benar –bi idznillah- adalah kita berupaya untuk mengumpulkan
seluruh dalil terkait satu masalah lalu berupaya untuk menarik
kesimpulan berdasarkan dalil-dalil tersebut, wallahu a'lam.
Syubhat Keempat: Telah
sampai kepada kita riwayat yang valid, bahwa beberapa sahabat menolak
kabar yang dibawa satu orang, seperti penolakan Abu Bakar terhadap
hadits yang dibawa oleh al-Mughirah bin Syu'bah tentang bagian warisan
untuk nenek sampai datang penguat dari sahabat Muhammad bin Maslamah,
dan penolakan Umar terhadap hadits dari Abu Musa al-Asy'ari tentang adab
meminta ijin sampai datang penguat dari sahabat Abu Sa'id al-Khudri dan
lain sebagainya.
Bantahan:
v Riwayat-riwayat
yang disebutkan oleh para pengingkar hadits ahad diatas justru adalah
dalil diterimanya hadits ahad, dan menunjukkan kehujjahannya, karena
sesungguhnya kabar dari dua orang masih masuk dalam kategori hadits
ahad, dan bukan tergolong hadits mutawatir.
v Penolakan
yang dilakukan beberapa sahabat diatas terhadap hadits yang dibawa oleh
satu orang, bukan disebabkan karena dibawa oleh satu orang, namun lebih
disebabkan karena adanya penghalang atau cacatnya syarat, makanya
ketika mereka mendapat penguat dari sahabat yang lain tentang hadits tersebut merekapun menerimanya, meskipun hadits tersebut belum keluar dari kategori hadits ahad.
v Telah
sampai pula riwayat yang banyak bahwa para sahabat menerima hadits nabi
yang diriwayatkan oleh satu orang sahabat, contohnya: Umar bin
Khatthoob menerima hadits dari Abdurrahman bin 'Auf tentang mengambil
jizyah [upeti] dari orang Majusi, Dan
beliau juga [Umar] menerima hadits dari Haml bin Malik tentang diyah
[denda] membunuh janin, yaitu dengan memerdekakan budak baik laki-laki
ataupun wanita, beliau juga menerima hadits dari Abdurrahman bin Auf dalam masalah penyakit Tha'un, dan beliau juga menerima hadits dari Sa'ad bin Abi Waqqash dalam masalah al-Mashu 'alal Khuffain [mengusap sepatu],
Zaid bin Tsabit menerima hadits dari seorang sahabat wanita bahwa
wanita haidh yang berhaji boleh meninggalkan mekah tanpa thawaf wada',
bahkan para sahabat menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq bahwa
para Nabi tidak meninggalkan warisan untuk keluarga mereka, Para sahabat
juga menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq tentang tempat
dikuburnya Nabi, para
sahabat juga mengamalkan hadits dari Aisyah tentang wajibnya mandi
besar jika bertemu dua yang dikhitan [kelamin laki-laki dan kelamin
wanita] meskipun belum ejakulasi.
v Beberapa sahabat menjelaskan tentang penyebab tawaqquf
mereka terhadap hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, contohnya
Umar bin Khotthoob, beliau mengatakan kepada Abu Musa al-Asy'arii:
إني لا أتّهمك, ولكنّي خشيت أن يتقوّل الناس على رسول الله
Artinya: Sesungguhnya saya tidak menuduhmu [berdusta], namun saya khawatir manusia akan berdusta atas Nabi Muhammad.
Perkataan ini adalah hakim bagi para pengingkar hadits ahad, dengan tidak bertele-tele Umar mengatakan bahwa penyebab dari tawaqqufnya
beliau terhadap hadits yang dibawa oleh Abu Musa al-Asy'arii disebabkan
pembinaan yang beliau tanamkan kepada umat untuk berhati-hati dalam
berinteraksi dengan hadits-hadits Nabi, oleh karena itu para ulama
hadits berkesimpulan bahwa sikap sahabat Abu Bakar dan Umar serta
sahabat-sahabat yang lainnya berupa tawaqquf mereka terhadap hadits yang dibawa oleh satu orang –dalam beberapa moment- merupakan pondasi bagi ilmu sanad.
Ikhwah yang dirahmati Allah, inilah makalah sederhana tentang polemik
hadits ahad, yang senantiasa diperdebatkan dari masa ke masa, dan
tentunya manhaj para ulama salaf kita tentang masalah ini –dan juga
masalah yang lainnya- lebih benar dan lebih selamat, semoga tulisan
singkat ini bisa menjadi benteng dari syubhat-syubhat yang bertebaran - wallalhu waliyu dzalika wal qodiru alaih-.
وصلي الله علي نبينا محمد وعلي آله وأصحابه ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين