Rabu, 30 Mei 2012

HUKUM MEMAKAN KATAK

Bismillah..
Hadits yang melarang membunuh katak diriwayatkan oleh Abu Daud (no. 3871 dan 5269), Nasaai (no. 4355) dan Daarimi (no. 1998)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِي دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا

Dari Abdurrahman bin Utsman radhiyallohu anhu bahwa seorang dokter bertanya kepada Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam tentang katak dijadikan obat maka Nabi Muhammad shallallohu alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.
Derajat Hadits :
Imam Abu Daud telah meriwayatkan hadits ini dengan sanad sebagai berikut : Abu Daud —> Muhammad bin Katsir —> Sufyan Ats Tsauri —> Ibn Abi Dzi’b —> Said bin Kholid —> Said bin Musayyib —> Abdurrahman bin Utsman
Sanad hadits Abu Daud di atas semuanya perowi yang tsiqoh (terpercaya) kecuali Said bin Kholid, derajat beliau menurut Ibnu Hajar : shaduq (jujur). Dengan demikian sanad Abu Daud hasan namun Syaikh Albani menghukumnya sebagai hadits shohih, mungkin saja karena beliau melihat beberapa syawahid (pendukung) yang menguatkannya. Kesimpulannya hadits ini adalah hadits yang diterima dan pantas dijadikan hujjah.
Syarah Hadits :
* Imam Khaththabi rahimahulloh berkata, “Hadits ini merupakan dalil bahwa katak haram dimakan dan tidak termasuk hewan air yang boleh dimakan…”
* Imam Abul Barakaat Ibn Taimiyah dalam kitab beliau Muntaqa Al Akhbar memasukkan hadits ini dalam bab yang beliau beri judul : “Bab Yang Diambil Manfaat tentang Hukum Keharamannya Berdasarkan Perintah untuk Membunuhnya atau Larangan Membunuhnya”. Maksud beliau bahwa kita bisa mengambil faidah haramnya suatu hewan berdasarkan salah satu dari dua sebab yaitu adanya perintah untuk membunuhnya atau adanya larangan membunuhnya.
* Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafizhahulloh –ketika menjelaskan hadits ini- beliau berkata, “Larangan membunuh katak menunjukkan haramnya dan tidak boleh dijadikan sebagai obat karena seandainya dibolehkan membunuhnya maka boleh saja digunakan untuk obat, karena kaidahnya adalah sesuatu yang boleh dibunuh dan digunakan maka boleh dijadikan sebagai obat dan sebaliknya sesuatu yang tidak boleh dibunuh maka tidak boleh dijadikan sebagai obat dan tidak boleh dimakan. Hal ini menunjukkan bahwa katak tidak boleh dimakan dan ini merupakan pengecualian dari hukum hewan yang hidup di laut. Maka katak tidak boleh dimakan karena Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam telah melarang membunuhnya karena seandainya boleh dimakan tentu beliau mengizinkan untuk mengambil manfaat darinya sebagai makanan dan obat akan tetapi ketika beliau melarangnya maka jelaslah bahwa katak tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijadikan sebagai obat”
Pendapat Fuqaha tentang larangan membunuh katak
Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang larangan yang terdapat pada hadits di atas; apakah haram atau makruh?
Pendapat Pertama : Makruh; ini pendapat madzhab Malikiyyah dan sebagian dari Syafi’iyyah dan Hanabilah
Pendapat Kedua : Haram; ini pendapat Jumhur ulama yaitu dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Imam Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah juga sepakat mengharamkannya. Pendapat kedua inilah yang rojih karena hukum asal dari larangan adalah haram,wallohu a’lam
Sebelum kami mengakhiri penjelasan ini maka hal lain yang perlu diingatkan adalah ketika kita mengatakan memakan katak haram berarti kita juga mengharamkan untuk menjadikannya lahan bisnis, sebagaimana sabda Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam,
(وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ )

“…Sesungguhnya jika Allah mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu maka berarti Allah juga mengharamkan harganya” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Wallohu A’lam bish Shawab wa Huwa Waliyyu At Taufiq

HADITS AHAD, HUJJAHKAH ??

Membahas Tentang Polemik Hadits Ahad
Oleh: Abu Shafa Luqmanul Hakim

Muqaddimah
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام علي رسوله الأمين وعلي آله وأصحابه الطاهرين ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين, أما بعد :
            Ikhwah yang dirahmati Allah, salah satu karakteristik ahlus sunnah wal jamaah dalam manhajul istidlal[1] adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Nashir bin Abdul Karim al-Aql dalam sebuah risalahnya:
كل ما صحّ من سنة رسول الله وجب قبوله والعمل به، وإن كان آحاداً في العقائد وغيرها
Artinya: Seluruh yang shahih dari hadits Rasulullah wajib untuk diterima dan diamalkan baik yang berkaitan dengan aqidah ataupun selainnya, meski hadits tersebut ahad.[2]
Hal ini merupakan bukti nyata dari ketaatan yang sempurna kepada Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam-, dan sebagai aplikasi ungkapan cinta kita yang murni kepada beliau, yang tentunya merupakan implementasi nyata bagi syahadat yang senantiasa terlafadz dalam lisan basah kita "Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah".
Sebuah bait Syair dengan sangat fashih terlantunkan:
لو كان حبّك صادقا لأطعته          فإن المحبّ لمن يحبّ مطيع
Artinya: Seandainya cintamu sejati niscaya engkau akan mematuhinya, sesungguh sang pecinta akan patuh kepada yang dicintai.[3]
            Kendati pemaparan tentang manhajul istidlal yang benar menurut manhaj ahlus sunnah -terkhusus berkaitan dengan hadits-hadits Nabi- sarat menghiasi kitab para ulama kita dari masa ke masa, namun sangat disayangkan, ternyata sangat banyak dari kalangan kaum muslimin yang buta tentang hal ini, sehingga mereka mudah terperangkap ke dalam jaring-jaring iblis dalam masalah ini, maka ditolaklah sunnah-sunnah Nabi dan dikritiklah hadits-hadits yang tidak singkron dengan logika mereka [menurut sangkaan mereka]. Jika kita tilik secara umum, maka para pengingkar hadits bisa dibagi menjadi dua fraksi:
Yang pertama: Golongan yang mengingkari seluruh hadits Rasulullah, menolak untuk berhujjah dengan sunnah bahkan melecehkannya, merasa cukup dengan al-Qur-an sebagai satu-satunya referensi otentik, dan biasanya mereka masyhur dengan julukan Qur-aniyyun atau Inkarus Sunnah
Untuk kelompok ini, alangkah indahnya jika kita hadiahkan sebuah atsar dari tabi'in yang mulia Hasan al-Bashrii –rahimahullah-:
أن عمران بن حصين ، كان جالسا ومعه أصحابه,  فقال رجل من القوم : لا تحدثونا إلا بالقرآن ، قال : فقال له : ادنه، فدنا، فقال : « أرأيت لو وكلت أنت وأصحابك إلى القرآن أكنت تجد فيه صلاة الظهر أربعا وصلاة العصر أربعا والمغرب ثلاثا ، تقرأ في اثنتين ، أرأيت لو وكلت أنت وأصحابك إلى القرآن أكنت تجد الطواف بالبيت سبعا والطواف بالصفا والمروة ، ثم قال : أي قوم خذوا عنا فإنكم ، والله إلا تفعلوا لتضلنّ
Artinya: Bahwa Imran bin Hushain bekumpul dengan para sahabatnya, lalu seseorang mengatakan kepada beliau: jangan engkau ajarkan sesuatu kepada kami kecuali al-Qur-an saja!!, maka beliaupun memanggilnya kemudian berkata: tahukah engkau, seandainya engkau hanya belajar dari al-Qur-an saja, apakah engkau akan mengetahui bahwa shalat dhuhur empat rakaat, shalat ashar empat rakaat dan shalat maghrib tiga rakaat dengan membaca ayat alqur-an di dua rakaat pertama???, tahukah engkau, jika seandainya engkau hanya mengambil al-Qur-an saja sebagai dalil, apakah engkau akan mengetahui bahwa jumlah thawaf di Ka'bah tujuh kali, dan jumlah Sa'i juga tujuh kali???, kemudian beliau mengatakan: wahai kaum, Belajarlah dari kami!! Jika tidak, maka niscaya kalian akan tersesat.[4]
            Duhai, sebuah hujjah kokoh keluar dari lisan yang sarat ilmu seorang sahabat yang mulia Imran bin Hushain, mematahkan syubhat lemah dari seseorang yang terkungkung nafsu, sekaligus mengukuhkan sebuah paradigma bahwa al-Qur-an dan sunnah bak dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dan dengarkan pula perkataan dari seorang ulama rabbani Ayub as-Sakhtiyani –rahimahullah- agar kemudian kita menjauhi pemikiran sesat ini:
إذا حدثت الرجل بالسنة فقال : دعنا من هذا وحدثنا من القرآن ، فاعلم أنه ضالّ مضلّ 
Artinya: jika engkau mengabari seseorang dengan hadits, kemudian dia mengatakan: jauhkanlah kami dari hadits dan bicaralah engkau dari al-Qur-an saja!!, ketahuilah bahwa orang tersebut sesat dan menyesatkan.[5]
            Duhai, seandainya mereka –para Ingkarus Sunnah- menyadari bahwa pengingkaran terhadap sunnah Nabi –shallallahu 'alaihi wasallam- pada hakikatnya adalah perpanjangan dari pengingkaran terhadap al-Qur'an, pasalnya kitab suci tersebut sarat dengan perintah untuk mencintai, mengagungkan dan memuliakan serta mengikuti sunnah Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wasallam-, beberapa contoh dari ayat tersebut:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya: Dan apa yang diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah, dan apa yang dilarang oleh beliau maka tinggalkanlah.[6]
من يطع الرسول فقد أطاع الله  
Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah.[7]
ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan taatilah para pemimpin kalian.[8]
            Oleh karena itu, tidaklah mengheran jika al-Imam Syafi'i –rahimahullah- menukil ijma' umat untuk mengagungkan sunnah Nabi kita yang tercinta, beliau mengatakan:
أجمع المسلمون على أن من استبانت له سنة رسول الله  لم يكن له أن يدعه لقول أحد من الناس
Artinya: Telah tegak ijma' kaum muslimin bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Nabi, maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena [mengikuti, pent.] perkataan salah seorang manusia [ulama].[9]

Kedua: Golongan yang menolak hadits ahad, baik memungkirinya secara mutlak dalam masalah aqidah dan hukum-hukum fiqh, ataupun meninggalkannya dalam masalah aqidah saja. Kelompok inilah yang akan kita bahas dalam risalah kecil ini, semoga Allah mencurahkan taufiqnya kepada kami sehingga bisa membahas masalah ini dengan sebaik mungkin.
            Dan untuk memudahkan pemaparan maka kami akan bagi pembahasan ini dalam beberapa point, Yang Pertama: Definisi Hadits Ahad, Yang Kedua: Dalil Tentang Kehujjahan Hadits Ahad, Ketiga: Menjawab Syubhat. Inilah poin-poin yang akan kami bahas, semoga Allah menjadikan makalah yang sederhana ini bermanfaat bagi kami dan bagi seluruh kaum muslimin.

Yang Pertama: Definisi Hadits Ahad
            Jika kita ingin mengetahui definisi Hadits Ahad, maka akan lebih mudah jika kita mengenal definisi Hadits Mutawatir terlebih dahulu, karena hadits ahad merupakan antonim dari hadits mutawatir. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan rawi yang banyak dalam setiap tingkatan rawi, sehingga mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam kedustaan, dan sumber pengambilan beritanya adalah panca indera dan bukan dugaan belaka.[10]
            Ikhwah yang dirahmati Allah, jika kita perhatikan definisi Hadits Mutawatir di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa syarat dari hadits mutawatir ada 4:
1.      Jumlah perawinya banyak, sehingga mustahil bagi mereka untuk bersepakat dalam dusta.
  1. Sumber haditsnya bukan dari dugaan belaka.
  2. Sumber periwayatannya adalah panca indera, contohnya: saya mendengar atau saya melihat.
  3. Semua syarat ini terpenuhi dalam setiap tingkatan sanad.
Contoh hadits mutawatir adalah sabda Nabi Muhammad:
  مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya: Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.[11]
            Inilah pemaparan yang sangat ringkas tentang definisi hadits mutawatir, nah..apabila kita telah memahami definisi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sebuah hadits mutawatir, maka akan mudah bagi kita  untuk mengetahui tentang hakikat hadits ahad. Definisi yang dari ulama terkait Hadits Ahad sangatlah beragam, namun perbedaan definisi para ulama kita dalam masalah ini -pada umumnya- adalah perbedaan dalam konteks redaksi saja, adapun subtansinya maka berujung pada makna yang serupa, definisi inti dari Hadits Ahad adalah :
ما قصر عن صفة التواتر ، ولم يقع به العلم وإن روته الجماعة
Artinya: Hadits yang tidak sampai pada derajat mutawatir, dan belum memberikan faidah ilmu [yakin], meski diriwayatkan oleh jumlah yang banyak [selama tidak sampai pada derajat mutawatir].[12]
Hadits ahad terbagi menjadi 3 bagian:
1. Hadits Gharib
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.[13]
Contohnya:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: Sesungguhnya amalan tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap manusia akan mendapatkan pahala selaras dengan niatnya.[14]

2. Hadits 'Aziz
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi dalam setiap tingkatan sanadnya.[15]
Contohnya:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Artinya: Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga mencintai aku melebihi cintanya atas bapaknya dan anaknya.[16]

3. Hadits Masyhur
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau bahkan lebih dalam setiap tingkatan sanad, selama belum sampai pada derajat mutawatir.[17]
Contoh:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambanya, akan tetapi mencabut ilmu dengan wafatnya ulama.[18]
            Inilah sedikit penjelasan tentang hadits ahad beserta pembagiannya, kesimpulannya adalah hadits ahad merupakan hadits yang belum mencapai derajat mutawatir meski diriwayatkan oleh beberapa rawi dalam setiap tingkatan sanadnya.

Yang Kedua: Dalil Tentang Hujjahnya Hadits Ahad
            Ikhwah yang dirahmati oleh Allah, para ulama ahlus sunnah berpendapat bahwa jika hadits ahad telah memenuhi syarat hadits shahih[19] maka bisa dijadikan sebagai hujjah baik dalam masalah aqidah ataupun dalam masalah hukum syar'i, dalil-dalil dari pendapat ini adalah:

v     Dalil Dari Ayat al-Qur-an

1.      Firman Allah:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi berperang semuanya, mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka pergi untuk menuntut ilmu, agar kemudian memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali dari medan perang agar mereka dapat berhati-hati.[20]
            Perhatikan kalimat "tho-ifah" dalam ayat diatas [yang kami garis bawahi], telah terjadi kesepakatan di kalangan para ahli bahasa bahwa kalimat tersebut dapat digunakan untuk satu orang atau lebih[21]. Olehnya ayat diatas mereka dalil bagi para ulama yang berpendapat bahwa hadits ahad bisa diterima dan diamalkan, ayat di atas memberi perintah kepada kaum muslimin untuk mengutus seseorang ataupun lebih dalam rangka untuk menuntut ilmu agama, agar kemudian orang yang diutus tersebut bisa mengajarkan dan menyampaikan ilmunya jika telah kembali dari tempat menuntut ilmu.

2. Firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Artinya: Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah yang kami turunkan berupa keterangan dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat seluruh makhluk yang melaknat.[22]
            Ayat di atas memerintahkan kita untuk menjelaskan dan menyampaikan ilmu, dan melarang untuk menyembunyikannya. Perintah dan larangan ini berlaku untuk setiap individu muslim bukan hanya kepada jamaah atau jumlah-jumlah tertentu, dan perlu diketahui bahwa meriwayatkan hadits adalah bentuk dari bayan [penjelasan], Nah.. jika memang hadits ahad ditolak maka tentu ayat di atas adalah perintah yang sia-sia, Allahu musta'an.

3. Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: Wahai orang-orang yan beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka klarifikasilah berita tersebut dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah atas suatu kaum karena kebodohanmu, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan tersebut.[23]
            Ayat ini merupakan salah satu rambu dalam masalah pemberitaan, dengan sangat gamblang dipaparkan dalam ayat di atas, bahwa kabar orang fasik [yang memiliki cacat dari sisi agama] harus diklarifikasi dahulu agar kemudian bisa mengambil sikap yang benar terhadap berita tersebut, dan secara tersirat ayat di atas merupakan isyarat bahwa jika yang datang membawa berita adalah orang yang berkualifikasi 'adil [baik agamanya] dan dhabith [baik hafalannya] maka berita yang dibawa bisa dipercaya.

4. Firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.[24]
Ayat ini memerintahkan kepada kita untuk bertanya kepada orang yang memiliki ilmu [ulama] jika tidak mengetahui tentang sesuatu, dan apabila kita bertanya hanya kepada satu orang ulama saja, maka kita telah mengamalkan ayat di atas, sebab ayat di atas tidak menentukan jumlah tertentu agar jawabannya menjadi mutawatir, sehingga kita boleh mengamalkan jawaban dari ulama tersebut. Bahkan ayat di atas justru merupakan dalil bagi diterimanya hadits ahad.

5. Firman Allah:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
Artinya: Dan janganlah kamu mengerjakan apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya.[25]
Imam Sarakhsi –rahimahullah- berkata: sesungguhnya mengamalkan hadits ahad adalah wajib, dan tidak wajib beramal kecuali dengan pijakan ilmu, Allah berfirman: "Dan janganlah kamu mengerjakan apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya", dan berfirman berkaitan dengan berita yang dibawa oleh orang fasik:" agar kamu tidak menimpakan suatu musibah atas suatu kaum karena kebodohanmu". Dan lawan kata kebodohan adalah ilmu, sedangkan lawan kata kalimat Fasik adalah 'adalah [sifat adil].[26]

v     Dalil Dari Hadits Nabi Muhammad –shallallahu 'alaihi wa sallam-.

1.      Sabda Nabi:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِى فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا
Artinya: Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah orang yang mendengarkan perkataanku lalu dia memahaminya dan menghafalnya lalu menyampaikanya kepada orang lain.[27]
Hadits ini adalah hadits mutawatir, yang menjelaskan kepada kita tentang untaian doa dari Nabi kita yang tercinta, bagi orang-orang memiliki sifat di atas, mendengarkan perkataan Nabi yang mulia, lalu berupaya untuk memahaminya dan menghafalnya, kemudian menyampaikan hadits tersebut kepada yang lain. Jika kita menelaah hadits di atas maka niscaya kita akan dapatkan bahwa hadits tersebut tidak mempersoalkan jumlah sang perawi, akan tetapi yang justru dipaparkan adalah kualitas sang perawi.
2. Sabda Nabi kepada Mu'adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِى قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
Artinya: Wahai Mu'adz, sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum ahli kitab, jika kamu telah berjumpa dengan mereka hendaknya yang dakwahkan dahulu adalah mengucapkan kalimat tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.[28]
            Ikhwah yang dirahmati Allah, hadits ini merupakan hakim pemutus kontraversi tentang hadits ahad, yang mana Nabi mengutus para sahabat sendiri-sendiri dalam rangka untuk mendakwahkan tauhid ke setiap kabilah bangsa arab maupun ke yang lainnya. Ini tentu menegaskan bahwa yang menjadi barometer dalam kesahihan sebuah hadits bukanlah jumlah rawinya, akan tetapi kwalitas dari para perawi dari hadits tersebut, dan masih banyak hadits yang serupa diantaranya pengutusan Abu 'Ubaidah al-jarrah ke Yaman, pengutusan Mush'ab bin 'Umair ke Madinah,  pengutusan Dihyah al-Kalbi ke raja Heraklius penguasa Romawi, perintah Nabi ke utusan 'Abdul Qais dan lain sebagainya.

v     Dalil dari Ijma'
Telah tegak ijma' dari kalangan sahabat dan tabi'in tentang kehujjahan hadits ahad[29], dan tidak ada satupun dari mereka yang membedakan antara masalah aqidah dan masalah hukum-hukum fiqih, bahkan pada saat itu belumlah masyhur pembagian hadits kepada Mutawatir dan ahad. Beberapa indikasi tegaknya ijma' di kalangan para sahabat dan tabi'in adalah:
1.            Pengutusan Rasulullah kepada setiap kabilah bangsa arab dan yang selainnya, yang mana Nabi hanya mengutus satu orang sahabat kepada kabilah tersebut demi untuk mendakwahkan tauhid, dan hal itu tidak diingingkari oleh para sahabat ataupun kabilah yang menjadi objek dakwah.
2.            Sebagian para sahabat meriwayatkan hadits dari sahabat yang lainnya, dan tidak ada pengingkaran dari Nabi ataupun dari kalangan ulama yang hidup pada jaman tersebut, diantara contoh dari fenomena ini adalah Abu Ayub al-Anshari meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah. dan simaklah perkataan sahabat Abdullah bin Abbas berikut ini:
جَاءَ بُشَيْرٌ الْعَدَوِىُّ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَجَعَلَ يُحَدِّثُ وَيَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَعَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ لاَ يَأْذَنُ لِحَدِيثِهِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ مَا لِى لاَ أَرَاكَ تَسْمَعُ لِحَدِيثِى أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ تَسْمَعُ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّا كُنَّا مَرَّةً إِذَا سَمِعْنَا رَجُلاً يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ابْتَدَرَتْهُ أَبْصَارُنَا وَأَصْغَيْنَا إِلَيْهِ بِآذَانِنَا فَلَمَّا رَكِبَ النَّاسُ الصَّعْبَ وَالذَّلُولَ لَمْ نَأْخُذْ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ مَا نَعْرِفُ.
Artinya: Busyair al-Adawi menghadap Abdullah bin Abbas dan kemudian dia mulai membacakan hadits dari Rasulullah, dan Abdullah bin Abbas tidak menyimak hadits tersebut dan tidak melihat kepadanya, maka dia mengatakan wahai Ibnu Abbas:"kenapa kamu tidak menyimak hadits-haditsku dari Rasulullah??", maka berkata Ibnu Abbas sesungguhnya kami dahulu jika mendengar seseorang membacakan hadits dari Rasulullah maka mata kami berlinang air mata, dan kami menyimaknya dengan sungguh-sungguh, namun ketika manusia sudah banyak berdusta maka kami tidak mendengarkan kecuali dari orang yang kami kenal.[30]
3. Banyaknya fenomena para sahabat Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- yang menerima hadits ahad dari sahabat yang lain, diantara contoh dari fenomena ini adalah Abu Bakar as-Shiddiq menerima dan mengamalkan hadits dari al-Mughirah bin Syu'bah dan Muhammad bin Maslamah dalam masalah bagian nenek dalam warisan yaitu seper-enam[31], Umar bin Khatthoob menerima hadits dari Abdurrahman bin 'Auf tentang mengambil jizyah [upeti] dari orang Majusi, karena Rasulullah bersabda:
سنوا بهم سنة أهل الكتاب
Artinya: Perlakukan mereka [orang majusi] seperti ahlul kitab.[32]
Dan beliau juga [Umar] menerima hadits dari Haml bin Malik tentang diyah [denda] membunuh janin, yaitu dengan memerdekakan budak baik laki-laki ataupun wanita[33], beliau juga menerima hadits dari Abdurrahman bin Auf dalam masalah penyakit Tha'un[34], dan beliau juga menerima hadits dari Sa'ad bin Abi Waqqash dalam masalah al-Mashu 'alal Khuffain [mengusap sepatu][35], Zaid bin Tsabit menerima hadits dari seorang sahabat wanita bahwa wanita haidh yang berhaji boleh meninggalkan mekah tanpa thawaf wada'[36], bahkan para sahabat menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq bahwa para Nabi tidak meninggalkan warisan untuk keluarga mereka:
إنّا معشر الأنبياء لا نورث ما تركناه صدقة
Artinya: Kami para Nabi tidak membagikan warisan [kepada keluarga mereka], harta warisan yang kami tinggalkan adalah sedekah.[37]
Para sahabat juga menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq tentang tempat dikuburnya Nabi:
الأنبياء يدفنون حيث ماتوا
Artinya: Para Nabi dikuburkan di mana saja mereka wafat.[38]
Dan para sahabat juga mengamalkan hadits dari Aisyah tentang wajibnya mandi besar jika bertemu dua yang dikhitan [kelamin laki-laki dan kelamin wanita] meskipun belum ejakulasi.[39]
Inilah fakta sejarah yang terpahat dalam kitab para ulama kita yang menjelaskan tegaknya ijma' para sahabat untuk menerima hadits ahad dalam masalah apapun juga, oleh karena itu tidak mengherankan apabila ulama sekaliber Imam Syafi'i mengatakan:
ولم يزل سبيل سلفتا و القرون بعدهم إلي من شاهدناه هذه سبيل
Artinya: Dan  jalan para Ulama terdahulu kita [sahabat] dan generasi setelah mereka bahkan sampai para ulama yang kami jumpai senantiasa berada di atas jalan ini [menerima hadits ahad, pent.].[40]
Berkata Ibnu Hazm –rahimahullah-:
فإنّ جميع أهل الاسلام كانوا على قبول خبر الواحد الثقة عن النبي صلي الله عليه وسلم يجري على ذلك كل فرقة في عملها, كأهل السنة والخوارج والشيعة والقدرية حتى حدث متكلموا المعتزلة بعد المائة من التاريخ, فخلفوا الاجماع في ذلك
Artinya: Sesungguhnya seluruh kaum muslimin terdahulu menerima kabar dari satu orang yang tsiqoh [terpercaya] yang meriwayatkan hadits dari nabi –shallahu 'alaihi wasallam-, bahkan seluruh kelompok pun berpandangan sama [menerima kabar dari satu orang tsiqoh], seperti ahlus sunnah, al-Khawarij, Syi'ah dan Qodariyah sampai munculnya al-Mu'tazilah setelah seratus tahun kemudian, maka merekapun menyelisihi ijma' ini.[41]
Dan jika kita meneliti sumber dari syubhat tentang ditolaknya hadits ahad, maka akan kita temukan sebagai berikut:
1.      Bahwa syubhat ini ditebarkan ini oleh para ahlul bid'ah, ahlul kalam, orang yang lemah agama bahkan orang-orang zindik secara sembunyi-sembunyi, dan syubhat ini tidak mendapatkan tempat di hati kaum muslimin pada saat itu. Ditambah lagi, para ulama kita getol membantah syubahat tentang hadits ahad ini, contohnya seperti Imam Syafi'i, yang dengan tanpa ragu menguliti syubhat ini dalam buku beliau Jima'ul Ilmi.
2.      Hakikat dari pendapat ini adalah penolakan hadits-hadits Rasulullah karena pengkultusan mereka kepada akal, dan jika tilik mayoritas syubhat mereka memang berpijak kepada akal.[42]


Yang ketiga: menjawab Syubhat

Syubhat Pertama: Hadits Ahad hanya menghasilkan berita yang sifatnya dhanni [dugaan] saja.
 Bantahan:
v     Pandapat ini bersumber ahlul bid'ah, dan mereka berpecah menjadi dua:
A. Mu'tazilah, yang mengatakan bahwa Hadits Ahad sifatnya hanya dhanni saja, dan sesuatu yang dhanni tidak layak untuk diamalkan, makanya kelompok ini menolak hadits ahad baik dalam masalah aqidah maupun hukum syar'i.
B. Ahlul kalamnya Asya'irah, mereka berpendapat bahwa hadits ahad bersifat dhanni, sehingga hanya layak dijadikan hujjah pada masalah hukum saja dan tiak bias dijadikan hujjah dalam masalah aqidah.
v     Fakta menetapkan bahwa kebenaran suatu berita tidak dilihat dari banyaknya pemberi kabar, namun dari sisi kwalitas sang pembawa berita.
v     Perlu kita kaji makna kalimat dhanni [dugaan] tersebut, karena kalimat dhann yang banyak digunakan ulama fiqh adalah ad-Dhan ar-Rajih [dugaan yang kuat] yaitu lawan kata dari istilah al-Wahm [dugaan yang lemah], dan ad-Dhan menurut para ulama fiqh adalah sesuatu yang bisa dijadikan landasan hukum, dan bukan bermakna dugaan ataupun prasangka yang diharamkan oleh agama, sebagaimana sabda Nabi:
إياكم والظنّ فإنّ الظن أكذب الحديث
Artinya: Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta.
Dan mungkin perlu kami jelaskan pula bahwa diantara makna kalimat ad-Dhann juga adalah alyakin, sebagaimana firman Allah:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Artinya: yaitu orang yang yakin bahwa mereka akan berjumpa dengan Rabbnya dan mereka akan kembali kepadanya.[43]
v     Pijakan terkuat dari pendapat ini adalah akal, dan dalil-dalil syar'i menyelisihinya.

Syubhat kedua: Hadits Ahad hanya bisa dijadikan hujjah dalam masalah hukum fiqih dan bukan dalam masalah aqidah.

Bantahan:
v     Diperlukan dalil yang kuat untuk membedakan antara masalah aqidah dan hukum fiqih dalam menerima hadits ahad sebagai hujjah .
v     Telah tegak ijma' para ulama untuk menerima hadits ahad dari seorang perawi yang terpercaya dan jujur.
v     Telah sampai kepada kita secara mutawatir bahwa Nabi Muhammad mengutus para utusannya kepada setiap kabilah dan raja-raja sendiri-sendiri. Mengutus Mu'adz bin jabal ke yaman, mengutus Dihyah al-kalbi ke Heraklius, mengutus Abdullah bin Hudafah ke kisra raja Persia, mengutus Utsman bin Ash ke Thoif, mengutus Hathib bin Abi Balta'ah ke makaukus di mesir dan lain sebagainya, dan mereka diutus untuk mendakwahkan tauhid dan menegakkan hujjah atas mereka.
v     Pendapat ini adalah aqidah [pendapat bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan pijakan dalam masalah aqidah], maka kami meminta kepada para pengingkar hadits ahad –khususnya dalam masalah aqidah- untuk  mendatangkan dalil yang mutawatir dalam masalah ini.
v     Seandainya hadits ahad bukanlah dalil dalam masalah aqidah, maka pasti telah dijelaskan oleh Nabi dan para sahabat dengan gamblang, karena hal ini adalah masalah yang sangat krusial.

Syubhat Ketiga:  Telah sampai kepada kita sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi –shallahu 'alaihi wasallam- menolak kabar dari Dzul Yadain bahwa beliau telah shalat dua rakaat, sampai ada penguat dari Abu Bakar dan Umar bin Khatthab.

Bantahan:
v     Rasulullah –shallallahu 'alaihi wasallam- tawaqquf  [ragu] untuk menerima kabar dari Dzul Yadain karena Rasulullah yakin bahwa beliau telah shalat 4 rakaat, dan yang menghadiri shalat tersebut bukan hanya Dzul Yadain, namun dihadiri jumlah yang banyak dari para sahabat. Keraguan Rasulullah terhadap kabar Dzul Yadain dipicu oleh diamnya para sahabat yang lain bahkan termasuk Abu Bakar dan Umar, menurut Nabi –Shallallahu 'alaihi wa sallam- jika benar beliau hanya shalat dua rakaat, tentu yang lebih layak untuk mengajukan kabar tersebut adalah sahabat-sahabat yang terdekat beliau seperti Abu Bakar dan Umar, oleh karena itu beliau ragu untuk menerima kabar dari Dzul Yadain sampai mendapatkan penguat dari para sahabat yang lainnya. kesimpulannya, sikap Rasulullah tawaqquf untuk menerima kabar dari Dzul Yadain bukan karena karena kabar tersebut dibawa oleh satu orang [ahad], namun karena ada penghalang untuk menerima kabar tersebut yaitu diamnya sahabat yang lain –termasuk Abu Bakar Dan Umar-, padahal mereka semua juga menghadiri shalat tersebut.[44]
v     Telah sampai kepada kita riwayat yang sangat banyak bahwa Nabi Muhammad mengutus para utusannya kepada setiap kabilah dan raja-raja sendiri-sendiri. Mengutus Mu'adz bin jabal ke yaman, mengutus Dihyah al-kalbi ke Heraklius, mengutus Abdullah bin Hudafah ke kisra raja Persia, mengutus Utsman bin Ash ke Thoif, mengutus Hathib bin Abi Balta'ah ke makaukus di mesir dan lain sebagainya, dan mereka diutus untuk mengajarkan agama yang dibawa oleh Nabi baik itu dalam masalah aqidah, ibadah ataupun hukum-hukum dalam agama islam, fakta ini menyimpulkan untuk kita bahwa Nabi-pun mengajarkan kepada kita untuk menerima hadits ahad sepanjang tidak ada penghalang yang bisa menjadikan hadits tersebut tertolak.
v     Kita tidak bisa berpegang dengan satu dalil [Rasulullah ragu untuk menerima hadits ahad], lalu meninggalkan dalil-dalil yang menyelisihinya [Rasulullah mengutus para sahabat ke kabilah-kabilah dalam rangka berdakwah sendiri-sendiri], ironisnya apabila kemudian kita memaksa untuk membangun hukum diatasnya [menolak hadits ahad], padahal masih ada dalil-dalil yang menyelisihinya [dalil bahwa hadits ahad diterima], yang benar –bi idznillah- adalah kita berupaya untuk mengumpulkan seluruh dalil terkait satu masalah lalu berupaya untuk menarik kesimpulan berdasarkan dalil-dalil  tersebut, wallahu a'lam.

Syubhat Keempat: Telah sampai kepada kita riwayat yang valid, bahwa beberapa sahabat menolak kabar yang dibawa satu orang, seperti penolakan Abu Bakar terhadap hadits yang dibawa oleh al-Mughirah bin Syu'bah tentang bagian warisan untuk nenek sampai datang penguat dari sahabat Muhammad bin Maslamah, dan penolakan Umar terhadap hadits dari Abu Musa al-Asy'ari tentang adab meminta ijin sampai datang penguat dari sahabat Abu Sa'id al-Khudri dan lain sebagainya.

Bantahan:
v     Riwayat-riwayat yang disebutkan oleh para pengingkar hadits ahad diatas justru adalah dalil diterimanya hadits ahad, dan menunjukkan kehujjahannya, karena sesungguhnya kabar dari dua orang masih masuk dalam kategori hadits ahad, dan bukan tergolong hadits mutawatir.
v     Penolakan yang dilakukan beberapa sahabat diatas terhadap hadits yang dibawa oleh satu orang, bukan disebabkan karena dibawa oleh satu orang, namun lebih disebabkan karena adanya penghalang atau cacatnya syarat, makanya ketika mereka mendapat penguat dari sahabat yang lain tentang hadits tersebut merekapun menerimanya, meskipun hadits tersebut belum keluar dari kategori hadits ahad.
v   Telah sampai pula riwayat yang banyak bahwa para sahabat menerima hadits nabi yang diriwayatkan oleh satu orang sahabat, contohnya: Umar bin Khatthoob menerima hadits dari Abdurrahman bin 'Auf tentang mengambil jizyah [upeti] dari orang Majusi, Dan beliau juga [Umar] menerima hadits dari Haml bin Malik tentang diyah [denda] membunuh janin, yaitu dengan memerdekakan budak baik laki-laki ataupun wanita[45], beliau juga menerima hadits dari Abdurrahman bin Auf dalam masalah penyakit Tha'un[46], dan beliau juga menerima hadits dari Sa'ad bin Abi Waqqash dalam masalah al-Mashu 'alal Khuffain [mengusap sepatu][47], Zaid bin Tsabit menerima hadits dari seorang sahabat wanita bahwa wanita haidh yang berhaji boleh meninggalkan mekah tanpa thawaf wada'[48], bahkan para sahabat menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq bahwa para Nabi tidak meninggalkan warisan untuk keluarga mereka, Para sahabat juga menerima hadits dari Abu Bakar as-Shiddiq tentang tempat dikuburnya Nabi, para sahabat juga mengamalkan hadits dari Aisyah tentang wajibnya mandi besar jika bertemu dua yang dikhitan [kelamin laki-laki dan kelamin wanita] meskipun belum ejakulasi.
v   Beberapa sahabat menjelaskan tentang penyebab tawaqquf mereka terhadap hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, contohnya Umar bin Khotthoob, beliau mengatakan kepada Abu Musa al-Asy'arii:
 إني لا أتّهمك, ولكنّي خشيت أن يتقوّل الناس على رسول الله
Artinya: Sesungguhnya saya tidak menuduhmu [berdusta], namun saya khawatir manusia akan berdusta atas Nabi Muhammad.[49]
Perkataan ini adalah hakim bagi para pengingkar hadits ahad, dengan tidak bertele-tele Umar mengatakan bahwa penyebab dari tawaqqufnya beliau terhadap hadits yang dibawa oleh Abu Musa al-Asy'arii disebabkan pembinaan yang beliau tanamkan kepada umat untuk berhati-hati dalam berinteraksi dengan hadits-hadits Nabi, oleh karena itu para ulama hadits berkesimpulan bahwa sikap sahabat Abu Bakar dan Umar serta sahabat-sahabat yang lainnya berupa tawaqquf  mereka terhadap hadits yang dibawa oleh satu orang –dalam beberapa moment- merupakan pondasi bagi ilmu sanad.
            Ikhwah yang dirahmati Allah, inilah makalah sederhana tentang polemik hadits ahad,  yang senantiasa diperdebatkan dari masa ke masa, dan tentunya manhaj para ulama salaf kita tentang masalah ini –dan juga masalah yang lainnya- lebih benar dan lebih selamat, semoga tulisan singkat ini bisa menjadi benteng dari syubhat-syubhat yang bertebaran - wallalhu waliyu dzalika wal qodiru alaih-.
وصلي الله علي نبينا محمد وعلي آله وأصحابه ومن اهتدي بهداهم إلي يوم الدين


   








[1] . Metode pengambilan dalil
[2] . Mujmal Ushulul Ahlus Sunnah Wal Jamaah fil I'tiqad
[3] . Mukhtashar Syu'abul Iman karya al-Qazwini hal 30
[4] . al-Kifayah Fi Ilmir Riwayah karya Khathib al-Baghdadi 1/27
[5] . al-Kifayah Fi Ilmir Riwayah karya Khathib al-Baghdadi 1/29
[6] . al-Hasyr 7
[7] . an-Nisa' 80
[8] . an-Nisa' 59
[9] . I'lamul Muwaqqi'in 2/282
[10] . Lihat al-Hadits ad-Dha'if wal Hukmu al-Ihtijaji bihi karya Abdul Karim Khudhair hal 26.
[11] . HR. Bukhari, Muslim dan yang lainnya.
[12] . al-Kifayah fi Ilmir Riwayah karya Khathib al-Baghdadi  hal 31.
[13] . Lihat Hadits Dhaif wal hukmu Ihtijaji Bihi karya Syaikh Abdul Karim Khudhair  37
[14] . Bukhari dan Muslim.
[15].Hadits Dhaif wal hukmu Ihtijaji Bihi karya Syaikh Abdul Karim Khudhair 35
[16]. Bukhari dan Muslim
[17] . Syarhu Nukhbatul Fikri karya Ibnu Hajar  hal. 11
[18] . Bukhari dan Muslim
[19] . Syarat-syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad setiap rawi, rawinya 'adil [baik agamanya] dan dhaabith [baik hafalannya], tidak ada cacat yang tersembunyi dan tidak  menyelisihi hadits  lain yang lebih shohih.
[20] . Surat at-Taubah 122
[21] . Hal ini sebagaimana yang ditaqrir oleh Imam Bukhari dalam shahih Bukharinya, Ibnu Hajar al-'Asqolani dalam Fathul Barinya, dan merupakan perkataan dari Ibnu 'Abbas, an-Nakha'ii, Mujahid dan yang lainnya. Lihat Khabarul Ahad wa Hujjiyatuhu hal 153.
[22] . Surat al-Baqarah ayat 159
[23] . Surat al-Hujurat ayat 6
[24] . Surat an-Nahl ayat 43
[25] . Surat al-Isra' 36
[26] . Ushulus  Sarakhsi 1/329
[27] . Tirmidzi
[28] . Bukhari, Muslim dan yang lainnya
[29] . Lihat Mukhtashor Ibnu Hajib 2/58, lihat pula Nihayatul Saul Fi Ushulul Fiqh karya Abu Ya'la 129
[30] . Shahih Muslim 1/10
[31] . lihat al-Muwattha' 1/335, Ibnu Majah 2/84
[32] . lihat ar-Risalah 186, sunan ad-Daruquthnii 2/154, al-Muwattha' 1/207
[33] . Shahih al-Bukhari 9/14
[34] . lihat Shahih al-Bukhari 7/169
[35] . lihat Shahih Muslim 1/156
[36] . lihat ar-Risalah karya imam Syafi'i 190, shahih Bukhari1/86
[37] . Shahih al-Bukhari 8/185-186
[38] . lihat Sunan Ibnu Majah 1/255
[39] . lihat Shahih Muslim 1/187, dan al-Muwatha' 1/46
[40] . ar-Risalah 194
[41] . silahkan lihat al-Ihkam karya Ibnu Hazm 1-4/103
[42] . Lihat Tadwinus Sunnah an-Nabawiyah karya Dr Mathar az-Zahrani  hal 49-50
[43] . al-Baqarah 46
[44] . lihat al-Ihkam karya al-Amidi 2/62
[45] . Shahih al-Bukhari 9/14
[46] . lihat Shahih al-Bukhari 7/169
[47] . lihat Shahih Muslim 1/156
[48] . lihat ar-Risalah karya imam Syafi'i 190, shahih Bukhari1/86