Selasa, 17 April 2012

2012 KESETARAAN GENDER ATAU PERBUDAKAN ? (1)

Kedudukan Wanita dalam Islâm
Wanita di Masa Jahiliyah

Wanita di masa jahiliyah (sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) pada umumnya tertindas dan terkungkung khususnya di lingkungan bangsa Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan fenomena ini menimpa di seluruh belahan dunia. Bentuk penindasan ini di mulia sejak kelahiran sang bayi, aib besar bagi sang ayah bila memiliki anak perempuan. Sebagian mereka tega menguburnya hidup-hidup dan ada yang membiarkan hidup tetapi dalam keadaan rendah dan hina bahkan dijadikan sebagai harta warisan dan bukan termasuk ahli waris. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):


“Dan apabila seorang dari mereka diberi khabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah. Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An Nahl: 58-59)
Islam Menjunjung Martabat Wanita
Dienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah subhanahu wata’ala adalah takwa, sebagaiman yang terkandung dalam Q.S Al Hujurat: 33). Lebih dari itu Allah subhanahu wata’ala menegaskan dalam firman-Nya yang lain (artinya):
“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)
Ambisi Musuh-Musuh Islam untuk Merampas Kehormatan Wanita
Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini. Sebagai peluang dan jembatan emas buat musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak wanita Islam. Dikesankan wanita-wanita muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Sehingga teropinikan wanita muslimah itu tak lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur. Oleh karena itu agar wanita bisa maju, harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara apapun seperti halnya kaum lelaki di masa moderen dewasa ini.
Ketahuilah wahai muslimah! Suara-suara sumbang yang penuh kamuflase dari musuh-musuh Allah subhanahu wata’ala itu merupakan kepanjangan lidah dari syaithan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaithan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapak kalian dari jannah, ia menanggalkan dari kedua pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” (Al A’raf: 27)
Peran Wanita dalam Rumah Tangga
Telah termaktub dalam Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang datang dari Rabbull Alamin Allah Yang Maha Memilki Hikmah:
“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al Ahzab: 33)
Maha benar Allah subhanahu wata’ala dalam segala firman-Nya, posisi wanita sebagai sang istri atau ibu rumah tangga memilki arti yang sangat urgen, bahkan dia merupakan salah satu tiang penegak kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “tokoh-tokoh besar”. Sehingga tepat sekali ungkapan: “Dibalik setipa orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkta: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama: perbaikan secara dhahir, di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara dhahir. Ini didominasi oleh lelaki karena merekalah yang bisa tampil di depan umum.
Kedua: perbaikan masyarakat dilakukan yang di rumah-rumah, secara umum hal ini merupakan tanggung jawab kaum wanita. Karena merekalah yang sangat berperan sebagai pengatur dalam rumahnya. Sebagaiman Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Tetaplah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj (berpenampilan) sebagaimana penampilannya orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikan zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak untuk menghilangkan dosa-dosa kalian wahai Ahlul bait dan mensucikan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al Ahzab: 33)
Kami yakin setelah ini, tidaklah salah bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritas tergantung kepada wanita dikarenakan dua sebab:
1. Kaum wanita jumlahnya sama dengan kaum laki-laki bahkan lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita sebagamana hal ini ditunjukkan oleh As Sunnah An Nabawiyah. Akan tetapi hal itu tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu jaman dengan jaman lain. Terkadang di suatu negeri jumlah kaum wanita lebih dominan dari pada jumlah lelaki atau sebaliknya… Apapun keadaannya wanita memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki masyarakat.
2. Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada dibawah asuhan wanita. Atas dasar ini sangat jelaslah bahwa tentang kewajiban wanita dalam memperbaiki masyarakat. (Daurul Mar’ah Fi Ishlahil Mujtama’)
Pekerjaan Wanita di dalam Rumah
Beberapa pekerjaan wanita yang bisa dilakukan di dalam rumah:
1. Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Tinggalnya ia di dalam rumah merupakan alternatif terbaik karena memang itu perintah dari Allah subhanahu wata’ala dan dapat beribadah dengan tenang. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Tetaplah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikan zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al Ahzab: 33)
2. Wanita berperan memberikan sakan (ketenangan/keharmonisan) bagi suami. Namun tidak akan terwujud kecuali ia melakukan beberapa hal berikut ini:
- Taat sempurna kepada suaminya dalam perkara yang bukan maksiat bahkan lebih utama daripada melakukan ibadah-ibdah sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapat izin suaminya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.’ (Fathul Bari 9/356)
- Menjaga rahasia suami dan kehormatannya dan juga menjaga kehormatan ia sendiri disaat suaminya tidak ada di tempat. Sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.
- Menjaga harta suami. Rasulullah bersabda:
خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ : أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ، وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta, adalah wanita yang baik dari kalangan quraisy yang penuh kasih sayang terhadap anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh suami.” (Muttafaqun ‘alaihi)
- Mengatur kondisi rumah tangga yang rapi, bersih dan sehat sehingga tampak menyejukkan pandangan dan membuat betah penghuni rumah.
3. Mendidik anak yang merupakan salah satu tugas yang termulia untuk mempersiapkan sebuah generasi yang handal dan diridhai oleh Allah subhanahu wata’ala.
Adab Keluar Rumah
Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Mengetahui tentang maslahat (kebaikan) hambanya di dunia maupun diakhirat yaitu kewajiban wanita untuk tetap tinggal di rumah. Namun bila ada kepentingan, diperbolehkan baginya keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَدْ أَذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengijinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (Muttafaqun ‘alahi)
Namun juga ingat petuah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya:
“Wanita itu adalah aurat maka bila ia keluar rumah syaithan menyambutnya.” (HR. At Tirmidzi, shahih lihat Al Irwa’ no. 273 dan Shahihul Musnad 2/36)
Sehingga wajib baginya ketika hendak keluar harus memperhatikan adab yang telah disyariatkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu:
a. Memakai jilbab yang syar’i sebagaimana dalam surat Al Ahzab: 59.
b. Atas izin dari suaminya, bila ia sudah menikah.
c. Tidak boleh bersafar kecuali dengan mahramnya. (HR. Muslim no. 1341)
d. Menundukkan pandangan. (An Nur: 31)
e. Berbicara dengan wajar tanpa mendayu-dayu (melembut-lembutkan). (Al Ahzab: 32)
f. Tidak boleh melenggak lenggok ketika berjalan.
g. Hindari memakai wewangian. (Al Jami’ush Shahih: 4/311)
h. Tidak boleh menghentakkan kaki ketika berjalan agar diketahui perhiasannya. (An Nur: 31)
i. Tidak boleh ikhtilath (campur baur) antara lawan jenis. (Lihat Shahih Al Bukhari no. 870)
j. Tidak boleh khalwat (menyepi dengan pria lain yang bukan mahram) (Lihat Shahih Muslim 2/978).
Hukum Wanita Kerja di Luar Rumah
Allah menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria di berikan kelebihan oleh Allah subhanahu wata’ala baik fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga pantas kaum pria sebagai pemimpin atas kaum wanita. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Kaum lelaki itu adalah sebagai pemimpin (pelindung) bagi kaum wanita.” (An Nisa’: 35)
Sehingga secara asal nafkah bagi keluarga itu tanggug jawab kaum lelaki. Asy syaikh Ibnu Baaz berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya, mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, dan mengobati mereka serta pekerjaan lain yang khusus bagi kaum wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik hakiki maupun maknawi. (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fil Maidanil amal, hal. 5)
Bila kaum wanita tidak ada lagi yang mencukupi dan mencarikan nafkah, boleh baginya keluar rumah untuk bekerja, tentunya ia harus memperhatikan adab-adab keluar rumah sehingga tetap terjaga iffah (kemulian dan kesucian) harga dirinya.
Wanita adalah Sumber Segala Fitnah
Bila wanita sudah keluar batas dari kodratnya karena melanggar hukum-hukum Allah subhanahu wata’ala. Keluar dari rumah bertamengkan slogan bekerja, belajar, dan berkarya. Meski mengharuskan terjadinya khalwat (campur baur dengan laki-laki tanpa hijab), membuka auratnya (tanpa berjilbab), tabarruj (berpenampilan ala jahiliyah), dan mengharuskan komunikasi antar pria dan wanita dengan sebebas-bebasnya. Itulah pertanda api fitnah telah menyala.
Bila fitnah wanita telah menyala, ia merupakan inti dari tersebarnya segala fitnah-fitnah yang lainnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia untuk condong kepada syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak … .” (Ali Imran: 14).
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Sesunggunya fitnah wanita merupakan fitnah yang terbesar dari selainnya …, karena Allah menjadikan para wanita itu sebagai sumber segala syahwat. Dan Allah meletakkan para wanita (dalam bagian syahwat) pada point pertama (dalam ayat di atas) sebelum yang lainnya, mengisyaratkan bahwa asal dari segala syahwat adalah wanita.” (Nashihati Linnisaa’i: 114)
Bila fitnah wanita itu telah menjalar, maka tiada yang bisa membendung arus kebobrokan dan kerusakan moral manusia. Fenomena negara barat atau negara-negara lainnya yang menyuarakan emansipasi wanita, sebagai bukti kongkrit hasil dari perjuangan mereka yaitu pornoaksi dan pornografi bukan hal yang tabu bahkan malah membudaya, foto-foto telanjang dan menggoda lebih menarik daya beli dan mendongkrak pangsa pasar. Tak lebih harga diri wanita itu seperti budak pemuas syahwat lelaki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضْرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَ اتَّقُوا النِّسَاءَ فَإنَّ أَوَّلِ فِتْنَةِ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau dan Allah subhanahu wata’ala menjadikan kalian berketurunan di atasnya. Allah melihat apa yang kalian perbuat. Takutlah kepada (fitnah) dunia dan takutlah kepada (fitnah) wanita, karena sesungguhnya awal fitnah yang menimpa Bani Isra’il dari wanitanya.” (HR. Muslim)
Setelah mengetahui hak dan tanggung jawab wanita sedemikian rupa, rapi dan serasi yang diatur oleh Islam, apakah bisa dikatakan sebagai wanita pengangguran atau kuno? sebaliknya, silahkan lihat kenyataan kini dari para wanita karier dibalik label emansipasi atau slogan “Mari maju menyambut modernisasi?” Renungkanlah wahai kaum wanita, bagaimana kedaan suami dan anak-anak kalian setelah kalian tinggalkan tanggung jawab sebagai istri penyejuk hati suami dan penyayang anak-anak?!!!!
Hadits-Hadits Dho’if (Lemah) atau Palsu yang Tersebar di Kalangan Ummat
اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَ لَوْ بِالصِّيْنِ
“Tuntutlah Ilmu walau sampai ke negeri Cina.”
Keterangan:
Hadits ini adalah bathil, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy, Abu Nu’aim, Al Khotib, Al Baihaqi, dan selain mereka. Hadits ini dikritik oleh para ulama seperti Al Imam Al Bukhori, Ahmad, An Nasa’i, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Khotib, dan selain dari mereka. Karena didalam perawi-perawi hadits ini lemah (dho’if). (Lihat Adh Dhoi’fah No.416)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar